Jakarta
agus.amin@gmail.com
+6287773379281

Pasal Sapu Jagad pada UU Perbankan

Pasal Sapu Jagad pada UU Perbankan

Usaha perbankan mengandung banyak risiko, antara lain kredit, pasar, operasional, likuiditas, strategis, reputasi, hukum, dan risiko kepatuhan. Untuk bank syariah ada dua risiko lagi, yaitu risiko investasi dan risiko bagi hasil.

Untuk Indonesia, bank juga menghadapi risiko politik, karena perilaku para politisi yang kadang kala merugikan bank. Risiko kepatuhan adalah risiko yang dihadapi bank karena tidak patuh pada peraturan perundangundangan sesuai dengan perintah otoritas perbankan setelah ditemui adanya penyimpangan oleh bank. Risiko kepatuhan ini dapat berupa sanksi administratif dan sanksi pidana sebagaimana diatur undang-undang perbankan. Tulisan ini membahas sanksi pidana kepada komisaris, direksi, dan pegawai bank yang tidak patuh pada perintah otoritas perbankan Bank Indonesia.

Sanksi pidana ini diatur dalam ketentuan pidana yang bersifat ”sapu jagat” yang diatur dalam pasal 49 ayat (2) huruf b Undang- Undang Perbankan No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Konvensional) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 10 Tahun 1998 (UU Perbankan) dan Pasal 63 ayat (2)huruf b UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariahyang subjeknya komisaris, direksi, dan pegawai bank.

Ketentuan yang sama juga berlaku untuk pihak terafiliasi dan pemegang saham. Penerapan ketentuan pidana tersebut sering diterapkan secara membabi buta, sehingga menimbulkan banyak korban tak berdosa di kalangan perbankan. Bagaimanakah sebenarnya penerapan ketentuan tersebut secara adil dan memberikan kepastian hukum sehingga tidak menimbulkan korban yang tidak berdosa?

Ketentuan yang Berlaku

Pasal 49 ayat (2) b UU Perbankan Konvensional berbunyi: anggota dewan komisaris atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit lima miliar rupiah dan paling banyak 100 miliar rupiah.

Ketentuan UU Perbankan konvensional ternyata lebih luas (lebih sapu jagat) dari pada ketentuan UU Perbankan Syariah. UU Perbankan syariah hanya mengaitkan pelanggaran dengan UU Perbankan syariah, sementara UU Perbankan Konvensional mengaitkan dengan pelanggaran UU Perbankan (Konvensional) dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Administrative Penal Law dan Ultimum Remedium

Administrative Penal Law (APL) adalah semua undang-undang dalam lingkup administrasi negara yang memiliki sanksi pidana misalnya Undangundang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No 10 Tahun 1998. UU Perbankan bersifat administratif yang diperkuat dengan sanksi pidana, sehingga disebut juga dengan admistrative penal law. Di samping itu, ketentuan dalam UU perbankan menganut azas ultimum remedium. Artinya hukum pidana sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum.

Kalau suatu kasus dapat diselesaikan dengan cara lain seperti tindakan administratif, penyelesaian dengan menerapkan hukum pidana tidak diperlukan. Dalam hal ini, ketentuan pidana yang ada dalam UU Perbankan tidak langsung diterapkan apabila terjadi tindak pidana. Sebelum penerapan ketentuan pidana, dilakukan upaya-upaya administratif. Hal ini harus dinyatakan dengan tegas dalam Undang-undang, misalnya dalam Pasal 100 UU No 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup. Sifat administrative penal ini tidak diatur secara jelas pada batang tubuh dan tidak juga dalam penjelasan UU Perbankan, sehingga banyak tidak dimengerti oleh pencari keadilan.

Bahkan, tidak semua orang yang mengerti sistem pengawasan dan pembinaan bank juga mengerti penerapan administrative penal pada UU Perbankan berdasarkan asas ultimum remedium. Dalam hal ini, ketentuan pidana dalam UU Perbankan bersifat ultimum remedium, penerapan ketentuan pidana dilakukan setelah berbagai upaya administrasi dilakukan terlebih dahulu. Sebaliknya, ketentuan pidana perbankan, bukan bersifat premium remedium yang langsung diterapkan tanpa menunggu tindakan administratif terlebih dahulu.

UU Perbankan menggunakan perumusan ”tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank” yang bersifat umum dan luas yang sering disalahtafsirkan, bahwa yang dimaksud dengan ”langkah-langkah” adalah sistem operating procedures (SOP) yang dimiliki bank.

Kalau diartikan demikian, setiap pelanggaran SOP atau ketentuan perbankan yang bersifat administratif akan dianggapsebagai pelanggaran pidana. Misalnya bank melanggar ketentuan Giro Wajib Minimum, Posisi Devisa Neto atau tidak atau terlambat menyampaikan laporan kepada otoritas perbankan/Bank Indonesia.

Penafsiran ini membahayakan, karena setiap pelanggaran SOP walaupun tidak bersifat ketentuan internal dan tidak signifikan tetap dianggap pelanggaran pidana, sehingga pegawai bank mudah sekali dikriminalisasi. Seharusnya ”langkah-langkah” diartikan dengan ”langkah-langkah yang harus dilakukan atau tidak dilakukan bank”, untuk memperbaiki penyimpangan yang terjadi dalam rangka pembinaan bank.

”Langkah-langkah” ini dicantumkan pada ”action plan”, ”surat pembinaan” atau risalah rapat pertemuan antara otoritas dan bank yang selama ini dikenal dengan nama Cease and Desist Order. Jadi ”langkah-langkah” ini bersifat spesifik, karena adanya pelanggaran yang harus diperbaiki dan bukan langkah-langkah standar yang ada dalam SOP.

Subjek Pidana Terbatas

Salah satu keterbatasan ketentuan pidana Pasal 49 ayat (2) huruf b Pasal UU Perbankan adalah subjek hukumnya terbatas, yaitu komisaris, direksi, dan pegawai bank. Sehingga kalau ada pihak di luar bank yang terlibat (penyertaan dalam tindak pidana) tidak bisa dituntut dengan pasal ini. Subjek tindak pidana yang terbatas ini dapat merugikan komisaris, direksi dan pegawai bank. Juga merugikan penegakan hukum.

Keterbatasan subjek tindak pidana ini juga merupakan salah satu ciri ketentuan perbankan yang bersifat lex specialis. Jadi ketentuan pasal ini hanya dapat diterapkan terhadap komisaris, direksi dan pegawai bank saja. Dengan alasan ini pulalah para penegak hukum terutama jaksa penuntut umum cenderung menjerat komisaris, direksi dan pegawai bank dan bukan pelaku lain dari luar bank. Di samping itu, subjek tindak pidana yang terbatas ini mengakibatkan penegak hukum, menggunakan Undang-undang yang lebih umum seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Yurisprudensi

Ada beberapa yurisprudensi sebagai implementasi Pasal 49 ayat (2) huruf b. Ada yurisprudensi yang menerapkan ketentuan tersebut dengan benar, ada juga yang salah. Penerapan yang benar terlihat dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 001/PID/B/1998/PN.JKT.BAR ,13 April 1998 dengan terhukum Ahmad Febby Fadhillah, komisaris PT Bank Citra dan Chandra W, direktur Bank Citra.

Majelis yang dipimpin oleh Andar Purba SH menghukum kedua terdakwa dengan hukuman penjara masing-masing tiga bulan dan denda empat puluh juta rupiah karena tidak melakukan langkah-langkah yang diminta secara tertulis oleh Bank Indonesia sebagai pengawas dan pembina bank untuk memperbaiki penyimpangan yang dilakukannya.

Penyimpangan yangdilakukan adalah tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperintahkan oleh Bank Indonesia melalui empat surat selama tahun 1997 untuk memperbaiki pelanggaran yang terjadi, misalnya membeli obligasi atas nama bank tetapi, obligasinya tidak tercatat di bank, menggunakan uang PT Bank Citra untuk perusahaan terdakwa. Di lain pihak, ada putusan pengadilan yang menerapkan Pasal 49 ayat (2) huruf b secara kurang tepat, seperti putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menghukum pidana penjara selama tiga tahun dan denda lima miliar rupiah untuk tiga orang pegawai Bank Rakyat Indonesia yang tidak menerapkan SOP sepenuhnya pada waktu menerima emas sebagai jaminan gadai atas pinjaman yang diberikan kepada nasabahnya. Kemudian, emas yang digadaikan itu ternyata palsu tanpa dilakukan pengecekan yang seksama sebelumnya.

Solusi

Penerapan ketentuan perbankan yang bersifat ultimum remedium tersebut memang ruang lingkupnya luas, tetapi penerapannya tidak sertamerta. Sebelum penerapan ketentuan pidana perbankan, seharusnya dilakukan tindakan administratif oleh otoritas untuk meminta komitmen bank untuk melakukan perbaikan dalam rangka menaati ketentuan yang berlaku. Kalau bank tidak menaati komitmennya, barulah ketentuan pidana itu dapat diterapkan.

Selanjutnya untuk mencegah terjadi korban lebih banyak lagi, otoritas perbankan dan industri perbankan untuk melakukan penyamaan persepsi dengan para penegak hukum dan akademisi dan pihak lainnya, sehingga tidak terjadi penerapan hukum yang keliru. Untuk jangka panjang Undang-Undang Perbankan perlu direvisi, sehingga menjadi lebih jelas pengaturan tentang asas ultimum remedium dalam UU tersebut.

KORAN SINDO, 02 April 2014

Tinggalkan Balasan