DUA BELAS ALASAN K.P.K MENUNTUT T.P.P.U
Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ( UU TPPU) memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyidik perkara TPPU dan tidak mengatur kewenangan KPK menuntut perkara TPPU. Dalam memberantas tindak pidana korupssi (TPK) ternyata KPK juga menuntut perkara TPPU. Berikut ini dua belas alasan yang mendukung penuntutan TPPU oleh KPK.
Alasan pertama, Pasal 75 UU TPPU, bahwa dalam hal penyidik TPPU menemukan bukti permulaan yang cukup terjdinya Tindak Pidana Asal dan TPPU penyidik menggabungkan penyidikan kedua tindak pidana tersebut dan melaporkannya kepada PPATK. Pasal 141 KUHAP juga mengatur tentang penggabungan perkara oleh Penuntut Umum. Penggabungan ini dilakukan karena Perkara TPK dan TPPU dilakukan oleh orang yang sama. Atau ada sangkut paut antara keduanya, karena TPK menghasilkan harta kekayaan/uang, yang merupakan obyek dari TPPU.
Alasan kedua, menyerahkan penuntutan perkara TPPU yang berasal dari TPK yang disidik KPK. Kepada Kejaksaan Agung tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pengadilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan dapat menimbulkan disparitas dalam penuntutan/pemidanaan. Selain itu jika perkara ini dipiasah akan menimbulkan tiga konsekuensi. Pertama bertentangan dengan asas kekuasaan kehakiman. Kedua, dapat menghambat dan memperlama penegakan hukum. Ketiga, memperumit terdakwa dan mengabaikan hak terdakwa untuk mendapatkan peradilan yang dilaksanakan secara sederhana, cepat dan biaya ringan., karena tersangka/terdakwa akan menjalani pemeriksaan berkali-kali di tahap pra-sidang dan siding pengadilan.
Alasan ketiga, dengan menggabungkan, terjadi efisiensi yang menurut ekonom merupakan tujuan dari hukum.Sebagai homo ekonomikus kita memerlukan efisiensi.
Alasan keempat, menyerahkan penuntutan perkara TPPU yang berasal dari TPK yang disidik KPK tidak memiliki dasar hukum. Sebaliknya KPK berwenang mengambil alih perkara TPK yang ditangani Kepolisian atau Kejaksaan sesuai dengan pasal 8 ayat (2) UU KPK.
Alasan kelima, Hukum acara perkara TPPU adalah hukum acara gabungan yang dalam KUHAP dan seluruh UU lainnya, seperti UU Kekuasaan Kehakiman, UU TPPU, UU KPK dan UU ITE. Kekurangan pengaturan penuntutan perkara TPPU dalam UU TPPU dapat diatasi dengan UU yang mengatur penuntut umum, yaitu KUHAP, UU Kekuasaan Kehakiman dan UU KPK. Apalagi sejak awal penanganan TPK dan TPPU sudah ada koordinasi antara penyidik dan Peuntut Umum yang berada pada satu atap, yaitu di KPK.
Alasan keenam, Dua orang jaksa senior (Dr Redha Mantovani dan Narendra Jatna,SH,LL.M berpendapat, bahwa dengan menggunakan interpretasi sistematis dan historis sudah dapat diambil sikap, bahwa Penuntut Umum KPK dapat juga menuntut perkara TPPU yang tindak pidana asalnyaTPK.(Redha M dan Narendra Jatna: Rezim APU dan Perolehan Hasil Kejahatan di Indonesia, Jakarta, 2012, hal. 88).
Alasan ketujuh, Sesuai dengan teori HUkum yang progresif yang dikenalkan oleh Prof Satjipto Rahardjo yang seringkali berfikir beyond the text (lebih jauh dari teks yng tertulis) .Kalau dikaji peraturan perundang-undangan pasti ada kekurangan, karena itu harus dilihat yurisprudensi dan ditafirkan sesuai dengan hati nurani untuk memperoleh keadilan. Penggabungan ini sesuai deng yurisprudensi dan rasa keadilan masyarakat yang menginginkan pelaku TPK dan TPPU segera diproses.
Alasan kedelapan, sudah banyak yurisprudensi yang menunjukkan secara konsisten, bahwa kewenangan KPK untuk menuntut TPPU sudah diterima, seperti dalam perkara TPPPU Wa Ode Nurhayati, Djoko Susilo, Luthfi Hasan Ishak,, Fatonah, Rudi Rubiandini, Deviandri, Akil Muchtar, dan Anas Urbaningrum, Fuad Amin.
Alasan kesembilan, JPU pada KPK dan JPU pada Kejaksaan Agung adalah memiliki fungsi yang sama, yaitu mewakili negara menuntut pelaku tindak pidana untuk kepentingan umum.
Alasan Kesepuluh,Penuntutan TPPU oleh KPK lebih meningkatkan pemulihan aset hasil korupsi, karena bukan saja dapat mengejar hasil korupsi yang ada pada pelaku dengan pembuktian terbalik juga asset hasil korupsi yang dikuasai oleh orang lain.
Alasan kesebelas, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 77/PUU/XII/2014 tgl 28 Oktober 2014 yang berbunyi “menurut Mahkamah (MK) penuntut umum merupakan satu kesatuan, sehingga apakah penuntut umum yang bertugas di Kejaksaan RI atau yang bertugas di KPK adalah sama. Selain itu, demi peradilan yang sederhana , cepat dan biaya ringan, penuntuan oleh jaksa yang bertugas di KPK akan lebih cepat dari pada harus dikirim lagi ke kejaksaan negeri. Apalagi tindak pidana pencucian uang tersebut terkait dengan tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK. Dengan demikian dalil pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.” (halaman 205). Permohonan uji materil diajukan oleh Dr Akil Muchtar terhadap 9 pasal UU TPPU termasuk permohonan untuk menafsirkan pasal 76 ayat (1) UU TPPU, bahwa yang berwenang menuntut adalah hanya penuntut umum pada Kejaksaan RI.
Alasan kedua belas, menurut putusan MK tersebut di atas di negara lain penuntutan terhadap perkara TPK dan TPPU digabungkan seperti di negara Guatemala, Sierra Leone dll.
Jakarta, 24 Januari 2018
Dr Yunus Husein,SH,LL.M