PENTINGNYA PERLINDUNGAN SAKSI, PELAPOR DAN KORBAN
Dewan Perwakilan Rakyat DPR) sedang membahas Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang merupakan usul inisiatif dari badan terhormat itu sendiri. Sayangnya, pembahasan RUU ini berjalan agak tersendat-sendat. Padahal, penyelesaian segera RUU ini sangat perlu dalam rangka pengungkapan kasus-kasus tindak pidana pada umumnya, terutama tindak pidana yang luar biasa ( extraordinary crime ), seperti korupsi, terorisme dan pencucian uang.
Perlunya Perlindungan
Masih segar dalam ingatan kita suatu kisah tentang seorang yang bernama Endin melaporkan perbuatan pidana yang diduga dilakukan oleh beberapa orang hakim. Kemudian, hakim tersebut melakukan ”serangan balik” dengan menga-dukan Endin telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik. Sang hakim bebas dari hukuman, sementara sang pelapor dihukum pengadilan karena terbukti melakukan tindak pidana yang dituduhkan. Demikianlah kisah tragis sang pelapor yang memberikan pesan negatif bagi penegakan hukum di Indonesia.
Tidak banyak orang yang bersedia mengambil risiko untuk melaporkan suatu tindak pidana jika dirinya, keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari ancaman yang mungkin timbul karena laporan yang dilakukannya. Begitu juga dengan saksi. Kalau tidak mendapat perlindungan yang memadai, akan enggan memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang dialami, dilihat dan dirasakannya sendiri.
Peraturan Tidak Memadai
Peraturan tentang perlindungan saksi, pelapor dan korban bervariasi dan tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Di bidang tindak pidana korupsi, perlindungan terhadap saksi dan pelapor diatur pada Pasal 41 ayat (2) e UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 15 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ada juga Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat sebagai pelaksanaan dari UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kemudian terdapat PP no. 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme sebagai pelaksanaan UU No. 15 Tahun 2003 tentang PemberantasanTindak Pidana Terorisme.
Akhirnya, kita juga memiliki PP No. 57 tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor dan Saksi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). PP No. 57 tahun 2003 ini ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (KAPOLRI) No. 17 Tahun 2005 yang berlaku sejak 30 Desember 2005.
Walaupun peraturan sudah cukup banyak, toh masih kurang memadai karena belum diaturnya secara komprehensif perlindungan saksi dan pelapor dalam satu undang-undang khusus. Disamping itu, kebanyakan peraturan tersebut memberikan perlindungan terhadap ancaman fisik atau psikis. Namun kurang memberikan perlindungan terhadap ancaman yuridis, seperti ancaman gugatan perdata dan pidana terhadap saksi atau pelapor. Dari keseluruhan peraturan perundang-undangan tersebut yang relatif lebih lengkap adalah perlindungan saksi dan pelapor berdasarkan UU TPPU.
Jenis Perlindungan
Perlindungan dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu perlindungan hukum dan perlindungan khusus terhadap ancaman. Perlindungan hukum dapat berupa kekebalan yang diberikan kepada pelapor dan saksi untuk tidak dapat digugat secara perdata atau dituntut secara perdata sepanjang yang bersangkutan memberikan kesaksian atau laporan dengan iktikad baik atau yang bersangkutan tidak sebagai pelaku tindak pidana itu sendiri.
Perlindungan hukum lain adalah berupa larangan bagi siapapun untuk membocorkan nama pelapor atau kewajiban merahasiakan nama pelapor disertai dengan ancaman pidana terhadap pelanggarannya. Semua saksi, pelapor dan korban memerlukan perlindungan hukum ini.
Sementara perlindungan khusus kepada saksi, pelapor dan korban diberikan oleh negara untuk mengatasi kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan harta benda, termasuk pula keluarga. Tidak semua saksi pelapor dan korban tindak pidana memerlukan perlindungan khusus ini, karena tidak semuanya menghadapi ancaman. Khusus untuk TPPU, perlindungan saksi dan pelapor, baik secara yuridis maupun perlindungan dari berbagai ancaman sudah diatur dalam Pasal 15 , 39-43 UU TPPU.
Bentuk Perlindungan Khusus
Dalam Peraturan KAPOLRI No. 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor dan Saksi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang disebutkan, perlindungan khusus terhadap pelapor, saksi dan keluarganya meliputi beberapa hal.
Pertama, perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental. Kedua , perlindungan terhadap harta. Ketiga, perlindungan berupa kerahasiaan dan penyamaran identitas. Keempat, pemberian keterangan tanpa bertatap muka (konfrontasi) dengan tersangka atau terdakwa pada setiap tingkat pemeriksanaan perkara.
Sebagai contoh, pernah dilakukan pemeriksaan saksi oleh kepolisian dengan menyamarkan identitas pelaku dengan berita acara penyamaran. Saksi diberikan nama dan jenis kelamin yang berbeda dengan keadaan sebenarnya. Biaya yang timbul dalam pelaksanaan perlindungan khusus ini dibebankan kepada anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Namun, dalam pelaksanaannya masih ada aparatur penegak hukum yang belum mengerti mengenai ketentuan perlindungan pelapor dan saksi ini. Bahkan, di beberapa daerah ada yang memberitahukan pihak terlapor, tentang adanya bank tertentu yang melaporkan kasus tertentu.
Berikutnya, mengenai anggaran, tampaknya pihak Kepolisian belum siap mengalokasikan dana. Untuk masa datang, sangat perlu penganggaran yang bersifat per tahun oleh Kepolisian hingga pembentukan badan baru untuk memberikan perlindungan khusus kepada saksi,pelapor dan korban.
Badan Khusus
Dalam wacana pembahasan yang sedang berlangsung terdapat kecenderungan untuk membentuk suatu badan khusus guna memberikan perlindungan bagi saksi dan pelapor. Hal ini ada baiknya agar tugas perlindungan saksi dan pelapor dapat dilaksanakan lebih fokus, serius dengan anggaran dan kemampuan yang memadai. Badan khusus ini juga bakal menilai apakah perlindungan khusus kepada saksi dan pelapor sudah perlu diberikan, karena memang tidak semua saksi dan pelapor tindak pidana memerlukan perlindungan khusus dari ancaman.
Selama ini, baik untuk TPPU atau tindak pidana korupsi, perlindungan khusus lebih banyak mengandalkan bantuan pihak kepolisian. Walaupun nantinya sudah ada badan khusus, sudah tentu bantuan dari kepolisian juga masih dimungkinan apabila diperlukan perlindungan terhadap ancaman fisik atau mental.
Demi keberhasilan penegakan hukum, penyelesaian UU Perlindungan Saksi, dan Korban kiranya perlu dipercepat penyelesaiannya. Perlu pula bagi DPR untuk memperluas ruang lingkup pembahasan RUU yang tidak hanya meliputi ”saksi dan korban” saja, namun juga menyangkut perlindungan”pelapor”. Dengan adanya UU ini diharapkan banyak kasus besar dapat diungkap dan tidak ada lagi pihak pelapor dan saksi yang beriktikad baik menjadi tersangka hanya karena perlawanan dari pihak tersangka asli. Y H
Dimuat dalam Harian Seputar
Indonesia. Senin, 15 Mei 2006