Jakarta
agus.amin@gmail.com
+6287773379281

KEGIATAN PEMUTIHAN UANG (MONEY LAUNDERING)

KEGIATAN PEMUTIHAN UANG (MONEY LAUNDERING)

Oleh Yunus Husein., SH, LL.M

 

 

  1. PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang Permasalahan

Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan perseorangan maupun perusahaan dalam batas wilayah negara maupun melintasi batas wilayah negara lain semakin meningkat. Kejahatan dimaksud berupa drug trafficking/sales, bribery, gambling, perdagangan gelap senjata, korupsi, white collar crime, penyelundupan dsb. Agar tidak mudah dilacak oleh penegak hukum mengenai asal-usul dana kejahatan tsb, maka pelakunya tidak langsung menggunakan dana dimaksud tapi diupayakan untuk menyamarkan/menyembunyikan asal usul dana tsb dengan cara tradisional, misalnya melalui casino, pacuan kuda atau memasukkan dana tsb ke dalam sistem keuangan atau perbankan. Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana yang diperoleh dari tindak pidana dimaksud dikenal dengan money laundering/pemutihan uang.

Saat ini yang menjadi “concern” hampir semua negara adalah dengan semakin meningkatnya kemajuan dibidang teknolgi membuat semakin meningkat pula kejahatan money laundering dalam aspek keuangan yang berada dalam ruang Iingkup internasional. Saat ini pelaku tindak kejahatan mempunyai banyak pilihan mengenai dimana dan bagaimana mereka menginginkan uang hasil kejahatan menjadi kelihatan ‘bersih’ dan ‘sah menurut hukum’. Perkembangan teknologi perbankan internasional yang telah memberikan jalan bagi tumbuhnya jaringan perbankan lokal/regional menjadi suatu lembaga keuangan global telah memberikan kesempatan kepada pelaku money laundering untuk memanfaatkan jaringan layanan tersebut yang berdampak uang hasil transaksi ilegal menjadi legal dalam dunia bisnis di pasar keuangan internasional.

Saat ini kegiatan pemutihan uang telah melewati batas juridiksi yang menawarkan tingkat kerahasiaan yang tinggi atau menggunakan bermacam mekanisme keuangan dimana uang dapat ‘bergerak’ melalui bank, money transmitters, kegiatan usaha bahkan dapat dikirim ke luar negeri sehingga menjadi clean-laundered money.

Kejahatan money laundering tidak hanya merupakan permasalahan di bidang penegakan hukum namun juga menyangkut ancaman keamanan nasional dan internasional suatu negar8. Sehubungan dengan hal tersebut upaya untuk mencegah dan memberantas praktik pemutihan uang telah menjadi perhatian internasional yang antara lain dilakukan dengan melakukan kerjasama bilateral maupun multilateral.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini mencakup :

  1. Bagaimana pasar keuangan internasional dimanfaatkan untuk kegiatan pemutihan uang ?
  2. Bagaimana mekanisme dan praktik pemutihan uang?
  3. Bagaimana perkembangan pemutihan uang di Indonesia dan apa peranan Pemerintah dan BI dalam memberantas kegiatan money laundering?
  4. Kerjasama dan rekomendasi organisasi internasional untuk menanggulangi money laundering.
  5. Bagaimana Financial Action Task Force mengidentifikasi negara/teritori termasuk Indonesia sebagai non-cooperative countries and territories?

1.2.  Pengertian

Istilah money laundering telah dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat. Pada saat itu organisasi kejahatan mafia telah membeli perusahaan-perusahaan pencucian pakaian (laundry) sebagai tempat pemutihan uang yang dihasilkan dari bisnis ilegalnya (perjudian, pelacuran, dan minuman keras). Selanjutnya pengertian tersebut mengalami perkembangan.

Money laundering dapat didefinisikan secara umum sebagai :

… the process of concealing the existence, illegal source, or illegal application of income, and the subsequent disguising of the source of that income to make it appear legitimate.

Dalam United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotic, Drugs and Psycotropic Substances of 1988 yang sudah diratifikasi dengan Undang-undang No.7 Tahun 1997 istilah money laundering diartikan dalam pasal 3 (1) b adalah :

… the convertion or transfer of property, knowing that such property is derived from any serious (indictable) offence or offences, or from act of participation in such offence or offences, for the purpose of concealing or disguising the illicit of the property or of assisting any person who is involved in the commission of such an offence or offences to evade the legal consequences of his action; or The concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition, movement, rights with respect to, or ownership of property, knowing that such property is derived from a serious (indictable) offence or offences or from an act of participation in such an offence or offences.

Menurut Blacks Law Dictionary, money laundering diartikan :

… term used to describe investment or other transfer of money flowing from racketeering, drug transactions, and other illegal sources into legitimate channels so that its original source cannot be traced.

Berdasarkan definisi diatas pemutihan uang melibatkan asset (pendapatan/kekayaan) yang disamarkan sehingga dapat digunakan tanpa terdeteksi bahwa asset tersebut berasal dari kegiatan yang illegal. Melalui money laundering pendapatan atau kekayaan yang berasal dari kegiatan yang melawan hukum dirubah menjadi asset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal.

 

  1. PEMANFAATAN PASAR KEUANGAN INTERNASIONAL DALAM PRAKTEK PEMUTIHAN UANG

Sejalan dengan maraknya Internasional Offshore Banking Centers (IOBC) maka pelaku pemutihan uang telah memanfaatkan kecanggihan jaringan pelayanan perbankan internasional dimaksud untuk menampung rekening secret money. Perdagangan barang dan jasa secara internasional melibatkan keuangan internasional. Keuangan internasional menjadi subyek yang penting karena berkembangnya globalisasi pasar keuangan. Lembaga keuangan dapat berkembang karena pasar modal belum sepenuhnya beroperasi secara sempurna. Pasar keuangan melibatkan transfer dana melampaui national boundaries dan juga menggunakan beberapa currency. Para pelaku yang bertindak sebagai perantara pasar keuangan adalah Commercial banks; saving and loan associations; perusahaan asuransi;

private pension funds; mutual savings banks; finance companies; credit unions dan mutual funds. Lembaga keuangan melakukan jual beli sekuritas di pasar keuangan.

Berdasarkan laporan dari International Narcotics Control Strategy Report of 1995, pelaku pemutihan uang memanfaatkan pasar keuangan internasional karena tidak memiliki geographic horizons, beroperasi 24 jam dan yang memiiiki kecepatan secara elektronik contohnya melalui penggunaan wire transfers. Wire transfers telah menjadi metode utama dalam pemutihan uang. Bahkan melalui transfer ini pencuci uang dapat mengakses lembaga keuangan USA dan melalui transfer domestik dan internasional dapat memindahkan dana dari aktivitas yang illegal dari satu rekening ke rekening lainnya.

Wire transfers juga disebut electronic funds transfers (EFT) melibatkan serangkaian perintah untuk dan melalui satu atau lebih bank yang bermaksud untuk pembayaran dana dari satu orang ke lainnya. Hal tersebut dilakukan melalui telepon, magnetic tape, computer, telex atau perintah tertulis.

Faktor lain yang juga cukup mendukung adalah adanya sistem devisa bebas seperti kebijakan yang dianut di Indonesia.

III.       KEGIATAN PEMUTIHAN UANG

3.1.  Mekanisme pemutihan uang

Secara umum ada 3 mekanisme pemutihan uang yang pada dasarnya dilakukan melalui lembaga-Iembaga keuangan khususnya perbankan, usaha real estate, dan perusahaan lain seperti money changer. Berdasarkan United States Customs Service, mekanisme tersebut terdiri dari 3 tahap yaitu :

  1. placement (penempatan) adalah upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan berupa pergerakan phisik dari uang kas baik dengan penyelundupan uang tunai dari satu negara ke negara lain; menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kegiatan yang melawan hukum dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah; atau dengan melakukan penempatan uang giral ke dalam sistem perbankan misalnya deposito bank, cek atau melalui real estate atau saham-saham ataupun mengkonversi kedalam mata uang lainnya atau transfer uang ke dalam valuta asing;
  2. layering (pelapisan) adalah suatu proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil upaya placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber uang haram tersebut, misalnya bearer bonds,

forex market, stocks. Disamping cara tersebut, langkah lain yang digunakan adalah dengan menciptakan sebanyak mungkin account dari perusahaan fiktif/semu dengan memanfaatkan aspek kerahasiaan bank dan keistimewaan hubungan antara nasabah bank dengan pengacara. Upaya ini dilakukan untuk menghilangkan jejak atau usaha audit sehingga seolah-olah merupakan transaksi finansial yang legal;

  1. integration (penggabungan) adalah proses pengalihan uang yang diputihkan hasil kegiatan placement maupun layering ke dalam aktivitas-aktivitas atau performa bisnis yang resmi tanpa ada hubungan/links ke da/am bisnis haram sebelumnya. Pad a tahap ini uang haram yang telah diputihkan dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk yang sesuai dengan aturan hukum, dan telah berubah menjadi legal. Ada tulisan yang menyebutkan bahwa cara tersebut juga disebut

spin dry yang merupakan gabungan antara repatriation dan integration.

 

3.2.  Perkembangan Pemutihan uang di Indonesia

Indonesia termasuk salah satu negara yang sang at menarik bagi pelaku pemutihan uang. Beberapa faktor yang membuka peluang terhadap kegiatan pemutihan uang antara lain, masih berkembangnya sistem keuangan di Indonesia dan diberlakukannya ketentuan rahasia bank bagi nasabah penyimpan dan simpanannya di bank. Disamping itu, sistem pembayaran di Indonesia yang masih menitikberatkan pada transaksi yang bersifat tunai yang memungkinkan seseorang untuk membawa uang kertas asing dalam jumlah besar ke Indonesia dan menukarkannya dengan uang rupiah serta menanamkan uang tersebut dalam bentuk asset’kekayaan yang sah tanpa adanya kekhawatiran untuk diusut asal-usul uang tersebut, membuka peluang terjadinya kegiatan pemutihan uang.

Faktor lain yang juga turut mempengaruhi adalah dianutnya sistem devisa bebas. Dengan adanya sistem devisa bebas, setiap orang atau badan hukum bebas untuk memasukkan atau membawa keluar valuta asing dari wilayah Indonesia. Dalam sistem ini, penduduk yang memperoleh dan memiliki devisa tidak wajib menjualnya kepada negara. Dianutnya kebijakan ini mengingat keterbatasan dana yang diperlukan bagi pembiayaan pembangunan, sehingga pemerintah menerapkan kebijakan yang bertujuan mengundang investor asing menanamkan dananya di Indonesia.

Adanya sistem devisa bebas selain membawa pengaruh positif seperti akan derasnya dana dari luar untuk ditanamkan di Indonesia juga membawa implikasi negatif yaitu tidak diusutnya asalusul uang yang ditanamkan tersebut. Dengan demikian akan tidak diketahui apakah uang tersebut berasal dari kegiatan ilegal atau tidak.

Disisi lain terdapat ketentuan rahasia bank yang diatur dalam UU Perbankan yang dianggap belum memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan masyarakat yang menghendaki kasus kejahatan yang merugikan negara ditindak secara transparan, bahkan sebaliknya dapat digunakan sebagai alat berlindung bagi pelaku kejahatan yang memanfaatkan bank sebagai sarana menyimpan atau untuk melakukan transaksi atas dana hasil kejahatan.

Di beberapa negara tindakan pemutihan uang telah dikategorikan sebagai tindak pidana yang diancam dengan hukum yang cukup berat dan disertai upaya pemberantasan yang cukup efektif, sedangkan di Indonesia belum ada pengaturan yang tegas yang menyatakan bahwa hal tersebut merupakan tindak pidana.

Pemanfaatan bank dalam pemutihan uang dapat berupa:

  • meyimpan uang hasil kejahatan dengan nama palsu atau dalam safe deposit box;
  • menyimpan uang di bank dalam bentuk deposito/tabunganlrekening giro dengan berlindung dibalik ketentuan mengenai rahasia bank dan karena tidak adanya ketentuan yang mewajibkan bank untuk meneliti darimanadana yang oleh penyimpannya diletakkan pada bank dalam suatu transaksi;
  • menukar pecahan uang haram (illicit money) dengan pecahan lainnya yang lebih besar atau kecil;
  • bank yang bersangkutan dapat diminta untuk memberikan kredit kepada nasabah pemilik simpanan dengan jaminan uang yang disimpan pad a bank yang bersangkutan; menggunakan fasilitas transfer atau EFT;
  • melakukan transaksi ekspor impor fiktif dengan menggunakan sarana UC dengan memalsukan dokumen-dokumen yang dilakukan bekerjasama dengan oknum pejabat terkait;
  • pendirian/pemanfaatan bank gelap.

Partisipasi pemerintah Indonesia dalam upaya pemberantasan kegiatan pemutihan uang adalah juga diamanatkan dalam United Nation Convention against Illicit Traffic in Narcotics Drugs and Psychotropic Substances of 1988, dimana negara-negara penandatangan konvensi tersebut diharuskan untuk menetapkan kegiatan pemutihan uang sebagai suatu kejahatan dan mengambil langkah-Iangkah agar pihak yang berwajib dapat mengidentifikasi, melacak dan membekukan atau menyita hasil perdagangan obat bius. Beberapa langkah yang telah diambil adalah:

 

3.2.1.Peranan Pemerintah Oalam Pemberantasan Money Laundering

Pemerintah telah menyusun beberapa ketentuan yang dapat mencegah kegiatan money laundering di Indonesia, yaitu antara lain:

  1. Undang-undang No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika

Undang-undang ini untuk memberantas dan mencegah terjadinya peredaran gelap psikotropika. Oalam UU ini antara lain diatur mengenai persyaratan dan tata cara ekspor dan impor peredaran serta penyaluran psikotropika agar hal-hal tersebut tidak digunakan sebagai sarana kegiatan pemutihan uang.

  1. RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Dalam rangka pemberantasan money laundering, Pemerintah sedang menyiapkan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di bawah koordinasi Departemen Kehakiman dan HAM. Hal ini juga merupakan usaha pencegahan atau pemberantasan terhadap kegiatan money laundering, mengingat selama ini Indonesia dianggap sebagai sasaran money laundering karena tidak mempunyai ketentuan yang tegas yang menyatakan bahwa money laundering merupakan suatu tindak pidana. Pokok-pokok yang termuat

dalam RUU dimaksud antara lain sebagai berikut:

  1. Pengaturan cara perbuatan money laundering;
  2. Dalam RUU dimaksud setiap orang atau korporasi yang dengan sengaja melakukan, membantu atau melakukan pemufakatan jahat untuk perbuatan

money laundering dipidana dan dikenakan denda. Yang dianggap money laundering adalah pencucian uang sebagai hasil tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan, tindak pidana yang berkaitan dengan dengan perbankan, tindak pidana yang berkaitan dengan narkotika, tindak pidana yang berkaitan denga psikotropika, perdagangan budak; wan ita, dan anak, perjudian, atau terorisme.

  1. Pengaturan bahwa lembaga keuangan wajib melaporkan transaksi keuangan yang mencurigakan atau transaksi keuangan paling sedikit Rp. 100 juta dengan ancaman sanksi pidana dan denda terhadap kesengajaan tidak melaporkan.
  2. Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (KPTPPU) yang bertugas melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
  3. Pembentukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPA TK).
  4. Kewajiban pelaporan lembaga keuangan kepada KPTPPU atas penerimaan uang tunai dengan jumlah Rp. 100 juta atau lebih baik dilakukan dalam satu kali penerimaan maupun beberapa kali penerimaan. Kewajiban pelaporan tersebut termasuk pula penerimaan uang tunai mata uang asing yang nilainya setara dengan mata uang rupiah sebesar Rp. 100 juta atau lebih, atau penerimaan pembayaran, penyetoran, transfer dari lembaga keuangan lain atau penitipan dana yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana.
  5. Kewajiban pelaporan Oi~en Bea Cukai kepada KPTPPU mengenai uang tunai yang berjumlah Rp. 100 juta atau lebih yang dibawa oleh siapapun, baik dari dan ke laur wilayah negara Republik Indonesia.
  6. Kewajiban nasabah deposan (perseorangan maupun korporasi) untuk menyampaikan identitasnya secara lengkap dan benar di bank termasuk nasabah reksa dana dan perusahaan efek.
  7. Pengaturan kewenangan KPTPPU dalam proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan termasuk kemungkinan pelaksanaan kerjasama bilateral dan multilateral dengan negara lain dalam proses-proses dimaksud.
  8. Pengaturan perlindungan bagi pelapor dan saksi.

 

3.2.2.Peranan Bank Indonesia dan Perbankan Oalam Memberantas Kegiatan Money

Laundering

Peranan BI dalam memerangi kegiatan money laundering di Indonesia cukup besar terutama . dari segi pencegahan yang dapat diketahui dari bentuk perumusan secara tegas dan konkrit baik dalam undang-undang maupun ketentuan pelaksanaannya.

  1. Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Dalam pasal 31 ayat (1) disebutkan: “Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian BI terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan”.

Dalam hal ini yang dimaksud dengan transaksi tertentu antara lain adalah transaksi dalam jumlah besar yang diduga berasal dari kegiatan melanggar hukum termasuk kegiatan pemutihan uang melalui transaksi perbankan. Oalam upaya mencegah dan atau memerangi kegiatan melanggar hukum tersebut yang menjadikan bank sebagai sarana, BI diberi kewenangan untuk menghentikan sementara kegiatan bank berkenaan dengan pemutihan uang atau kegiatan pelanggaran hukum lainnya. Selain itu dalam Pasal 3 ayat (1) diatur bahwa “Uang rupiah dalam jumlah tertentu dilarang dibawa keluar atau masuk wilayah pabean RI kecuali dengan izin BI”. Berdasarkan pasal ini BI berusaha membatasi jumlah uang rupiah yang dapat dibawa keluar atau masuk wi/ayah pabean RI dalam upaya antara lain mencegah terjadinya transaksi uang palsu dan transaksi lainnya seperti pemutihan uang. Hal ini diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1998 jo SK Oir BI No. 30/271A1KEP/DIR tentang Perubahan SK Oir BI No. 30/191 AlKEP/SIR tentang Pengeluaran atau Pemasukan Mata Uang Rupiah Oari atau Kedalam Wilayah Republik Indonesia.

  1. Undang-undang No. 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Oevisa dan Sistem Nilai Tukar Berdasarkan pasal 3 ayat (2) bahwa “setiap penduduk wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan lalu lintas devisa yang dilakukannya, secara langsung atau melalui pihak lain yang ditetapkan oleh BI”.

Keterangan/data yang diminta antara lain meliputi nilai dan jenis transaksi, tujuan atau maksud transaksi, pelaku transaksi, dan negara tujuan atau asal pelaku transaksi. Ketentuan ini setidak-tidaknya dapat mempunyai manfaat tidak langsung selain memantau transaksi devisa juga memungkinkan memiliki

database informasi mengenai hal tersebut.

  1. Ketentuan Bank Indonesia lainnya

Selain upaya pencegahan dan atau pengungkapan kegiatan money laundering berdasarkan ketentuan undang-undang, Bank Indonesia juga telah berupaya memerangi kegiatan tersebut melalui peraturan yang lebih teknis dalam Surat Keputusan Direksi BI dan Peraturan Bank Indonesia.

  1. Surat Keputusan Direksi BI

Berdasarkan SK Dir B! No. 30/271A1KEP/DIR tentang Perubahan SK Dir BI No. 30/191A/KEP/DIR tentang Pengeluaran atau Pemasukan Mata Uang Rupiah Dari atau Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia maka :

  • Setiap orang yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia dengan jumlah lebih dari Rp. 5.000.000,00 wajib mengisi formulir deklarasi;
  • Setiap orang yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia dengan jumlah lebih dari Rp. 10.000.000,00 selain wajib mengisi formulir deklarasi juga harus memperoleh terlebih dahulu izin dari BI.

Selain itu dalam SK Dir BI No. 32/50/KEP/DIR tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembelian Saham Bank Umum, Pasal 6 huruf b mengatakan bahwa sumber dana yang digunakan untuk pembelian saham bank dalam rangka kepemilikan dilarang berasal dari dan untuk tujuan money

laundering. Tujuan dari ketentuan-ketentuan ini adalah agar pemegang saham/pemilik bukanlah pelaku kegiatan money laundering.

  1. PBI No. 2/27/PBI/2000 tanggal15 Desember tentang Sank Umum.

Selain itu, BI juga telah mengeluarkan PBI No. 2/27/PBI/2000 tanggal 15 Desember 2000 tentang Bank Umum, Pasal 6 ayat 1 huruf j yang mengatur bahwa dalam rangka permohonan izin pend irian bank umum, calon pemegang saham bank wajib melampirkan surat pernyataan bahwa setoran modal bank tidak berasal dari dan untuk tujuan money laundering. Selanjutnya dalam Pasal 14 huruf b ditetapkan bahwa : “sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan bank atau pembelian saham bank dilarang berasal dari dan untuk tujuan pemutihan uang”. Disamping itu diatur bahwa pengurus dan pemegang saham suatu bank tidak termasuk dalam daftar orang yang pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan dan usaha lainnya; tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan; tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi untuk menjadi pengurus dan pemilik (Iulus fit and proper test).

  1. PBI No. 1/6/PB1/1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan

(Compliance Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Sank Umum

BI telah mempersiapkan ketentuan yang mewajibkan bank untuk menugaskan salah seorang anggota direksi sebagai Compliance Director yang bertugas untuk memastikan bank telah memenuhi ketentuan 81 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan membentuk Satuan Kerja Audit Intern yang bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan bank secara keseluruhan. Ketentuan tsb bertujuan untuk memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan yang berlaku termasuk ketentuan anti pemutihan uang.

  1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 1/9/PBI tahun 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank beserta peraturan pelaksanaannya SE No. 1/9/DSM tanggal 28 Desember 1999 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka bank wajib melaporkan data/keterangan meliputi:

ƒ   laporan transaksi yaitu laporan mengenai transaksi yang mempengaruhi posisi aset dan kewajiban finansialluar negeri bank pelapor meliputi :

  • penerimaan dari luar negeri dan pembayaran ke luar negeri, baik dalam rupiah maupun valuta asing;
  • penerimaan dari bukan penduduk dan pembayaran kepada bukan penduduk di dalam negeri, baik dalam rupiah maupun val uta asing;
  • penerimaan dan pembayaran didalam negeri antar penduduk dalam valuta asing seperti uang kertas asing (bank notes), travellers’ cheque dan wesel ekspor yang diambil alih.

Untuk laporan transaksi, transaksi diatas USD 10.000 atau ekuivalennya dilaporkan secara terinci yang keterangannya mencakup keterangan mengenai pelaku dan hubungan keuangan antar pelaku transaksi serta tujuan transaksi. Transaksi sampai dengan USD 10.000 atau ekuivalennya dilaporkan secara gabungan (lump sum) tanpa harus dilengkapi dengan keterangan mengenai pelaku dan hubungan keuangan antar pelaku transaksi serta tujuan transaksi.

ƒ laporan posisi yaitu laporan mengenai posisi aset dan kewajiban finansialluar negeri bank pelapor yang mencakup seluruh tagihan dan kewajiban kepada bukan penduduk baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri.

Untuk memperoleh keterangan dimaksud bank diwajibkan meminta data kepada nasabah yang melakukan kegiatan devisa dan sebaliknya nasabah wajib memberikan data kepada bank yang bersangkutan.

  • Lembaga Keuangan Non Bank wajib melaporkan: – perpindahan devisa dalam rangka transaksi:
    • penempatan, pembayaran, serta penerimaan antara Lembaga Keuangan Non Bank dengan bukan penduduk baik dalam rupiah maupun valas;
    • penempatan, pembayaran serta penerimaan antara Lembaga Keuangan Non Bank dengan penduduk dalam valuta asing.

ƒ   posisi aset dan kewajiban finansialluar negeri Lembaga Keuangan Non Bank.

  1. SE No. 28/137/UPG tanggal 5 Januari 1996 jo SK No. 28/122fKEPIDIR tanggal 5 Januari 2001 tentang CekiBilyet Giro Kosong

Dalam ketentuan tersebut diatur persyaratan pembukaan rekening giro atau rekening pinjaman yang dapat ditarik dengan cek atau bilyet giro, yaitu:

  • bank harus meminta data yang lengkap dari nasabah mengenai tanda bukti diri, NPWP, akte pendirian/anggaran dasar bagi perusahaan yang berbentuk hukum;
  • bank harus meneliti kebenaran data dimaksud;
  • bank dilarang menerima nasabah yang namanya tercantum dalam daftar hitam yang masih berlaku;
  • bank harus mencantumkan klausula yang merupakan pernyataan nasabah bahwa yang bersangkutan tidak berkeberatan rekeningnya ditutup dan namanya dicantumkan dalam daftar hitam oleh BI apabila terkena sanksi administratif karena melakukan penarikan cek.bilyet giro kosong.
  1. PBI No. 3/3/PBII2001 tentang Pembatasan transaksi Rupiah dan pemberian

Kredit Valas oleh Bank

Dalam ketentuan tersebut diatur pelarangan dan pembatasan transaksitransaksi tertentu oleh bank terhadap WNA; badan hukum asing lainnya; WNI yang memiliki status penduduk tetap  (permanent resident) negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia; perwakilan negara asing dan lembaga internasional di Indonesia; kantor banklbadan hukum Indonesia di luar negeri. Dengan adanya pelarangan dan pembatasan pelaksanaan transaksi yang dapat dilakukan oleh bank akan memberikan suasana yang tidak kondusif bagi pihak-pihak yang terkena pelarangan/pembatasan yang akan melakukan transaksi atas uang hasH money laundering di Indonesia.

  1. Unit Khusus Investigasi Perbankan

Dalam upaya memerangi kegiatan money laundering, 81 telah membentuk satuan kerja yang bertugas melakukan investigasi terhadap perbuatan yang diduga mengandung penyimpangan di bidang perbankan termasuk kegiatan pemutihan uang yaitu UKIP (Unit Khusus Investigasi Perbankan).

 

3.2.3. Kerjasama dan Rekomendasi Organisasi Internasional Untuk Menanggulangi Money

Laundering

  1. Asia Pacifik Group on Money Laundering Organisation

Mengingat praktek money laundering bersifat lintas negara sehingga berkaitan dengan jurisdiksi negara lain, maka Indonesia sudah mengajukan permohonan lisan pada sidang APG di Manila tahun 1999 untuk menjadi anggota Asia Pacific Group (APG) on Money Laundering Organisation} dan saat ini Indonesia sudah menjadi anggota dari APG yang beranggotakan 19 negara Asia Pacifik. Organisasi ini merupakan organisasi bersifat sukarela dan kerjasama yang mengumpulkan informasi mengenai langkah-Iangkah yang perlu diambil untuk mengantisipasi kegiatan pemutihan uang dan perjanjian resmi yang dilakukan oleh organisasi internasional dan regional yang terkait dengan money laundering.

  1. The Fourth Asia Money Laundering Symposium

Seperti telah diuraikan di atas maka sistem keuangan yang terkait dengan lembaga keuangan merupakan sarana kegiatan pemutihan uang, dengan demikian dalam upaya pemberantasan money laundering sistem keuangan mempunyai peranan penting dalam memotong atau mendeteksi arus uang haram yang dicoba masuk ke dalam sistem keuangan. Salah satu langkah yang telah dicapai adalah hasil dari The Fourth Asia Money Laundering Symposium tahun 1997 dengan rekomendasi berupa:

  1. Bank sentral, menteri keuangan, dan security commission yang selanjutnya disebut Financial Regulatory Authorities, bertugas untuk melindungi integritas dan stabilitas sektor keuangan dengan cara pengaturan sistem keuangan, pembinaan dan pengawasan bank dan sistem pembayaran;
  2. Ketentuan mengenai kerahasiaan tidak dapat menjadi halangan bagi Financial Regulatory Authorities dalam memberikan informasi kepada otoritas lain.

Sekalipun demikian langkah pencegahan dimaksud dapat terlaksana setelah diciptakan dulu perangkat hukum yang dijadikan dasar bahwa money laundering adalah suatu tindak pidana.

  1. The Committee on Banking Regulation and Supervisory Practices

Komite praktek-praktek pengawasan dan peraturan perbankan (Committee on

Banking Regulation and SupeNisory Practices) dalam pertemuan di Bassel, Swiss, tahun 1988 telah merekomendasikan prinsip-prinsip pedoman dalam menghadapi permasalahan money laundering (dikenal dengan “Know Your

Customer Principle)

  1. Semua bank sebaiknya menciptakan prosedur yang efektif dalam memperoleh identitas yang benar atas nasabah baru;
  2. Manajemen bank sebaiknya menjamin bahwa kegiatan bisnis yang dilakukannya didasarkan pada standar etika yang tinggi, dan semua peraturan perundang-undangan yang mengatur transaksi keuangan benarbenar dijalankan;
  3. Bank-bank bekerjasama secara penuh dengan pihak yang berwenang dalam bidang penegakan hukum, sampai batas-batas maksimal yang diijinkan oleh ketentuan-ketentuan kerahasiaan nasabah yang ada di masing-masing negara;
  4. Bank-bank mempunyai kebijakan yang konsisten dalam hal pelaporan dan mengkomunikasikan kebijakan tersebut ke seluruh karyawannya yaitu dengan melakukan pelatihan staf, pengembangan prosedur spesifik dalam pengidentifikasian nasabah, penyimpangan internal, dan pengembangan prosedur audit internal.

Dewasa ini negara-negara industri maju sangat memberikan concern terhadap kestabilan sistem keuangan dunia yang dipengaruhi oleh faktor kestabilan sistem perbankan suatu negara. Berkenaan dengan hal tersebut Basle Committee on Banking Supervision telah berupaya memenuhi permintaan menteri-menteri keuangan G7 dalam rangka meningkatkan prudential surpevision. Dalam kaitan ini Baste Committee telah menyiapkan Core Principles For effective Banking Supervision yang komprehensif untuk diterapkan pada negara-negara G-10 dan non G-10. Core Principles terdiri dari 25 prinsip-prinsip dasar yang diharapkan menjadi suatu standard minimal yang berlaku umum dan berfungsi sebagai dokumen referensi bagi otoritas pengawas di seluruh negara dalam rangka meningkatkan efektivitas sistem pengawasan terhadap lembagaIembaga keuangan.

 

Dari ke 25 core principles tersebut yang terkait dengan pencegahan/pemberantasan kegiatan money laundering adalah:

  1. kewenangan menetapkan kriteria dan menolak usulan pendirian bank yang tidak memenuhi standard. Proses perijinan minimal mencakup penilaian struktur kepemilikan, organisasi dan manajemen, rencana kerja dan pengendalian intern, serta rekomendasi home authority untuk bank asing;
  2. kewenangan pengawas untuk mereview dan menolak berbagai proposal mengenai perubahan kepemilikan bank (controlling interests);
  3. pengawas harus menetapkan bahwa bank telah memiliki kebijakan, praktek-praktek dan prosedur, termasuk strict know-your-customer rules, untuk meningkatkan standar etika dan profesionalisme perbankan dan mencegah terjadinya praktek-praktek criminal;
  4. Pengawas melakukan kontak dan tukar menukar informasi bank yang diawasi dengan otoritas pengawas negara lain (host authority).

Terhadap ke 4 principles yang terkait dengan pencegahan atau pemberantasan kegiatan money laundering baik secara langsung ataupun tidak langsung, BI telah mengimplementasikannya baik dalam ketentuan maupun dalam praktek pengawasan.

  1. The Financial Action Task Force (FATF)

FATF didirikan tahun 1989 yang mempunyai tugas menciptakan suatu standar kebijakan dalam rangka pencegahan kegiatan money laundering. Saat ini ada 29 negara baik dari Eropa, Amerika dan Asia yang menjadi anggota FATF. Mengingat kegiatan pemutihan uang melewati batas wilayah negara lain dan terkait dengan sistem keuangan/perbankan masing-masing negara maka diperlukan komitmen untuk melaksanakan rekomendasi yang dibuat oleh organis3si internasional seperti the Financial Action Task Forces 40 Recommendations. Upaya-upaya yang perlu dilakukan sesuai dengan rekomendasi tersebut antara lain:

  1. meratifikasi dan menerapkan secara penuh konvensi Wina, the 1988

United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotics Drugs and Psychotropic Substances;

  1. menyatakan money laundering sebagai suatu kejahatan dan membuat langkah-Iangkah untuk menangkal money laundering dan melakukan penggolongan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan pemutihan uang;
  2. bekerjasama dalam pemberian informasi perkembangan terakhir dalam penanggulangan money laundering dan pemberian pelatihan oleh negara maju bagi negara-negara yang masih membutuhkan peningkatan kemampuan untuk melakukan investigasi terhadap pemutihan uang sehingga dapat mengambillangkah antisipasi yang diperlukan;
  3. membuat perjanjian bilateral mengenai pertukaran barang bukti, tersangka, saksi dan benda sitaan;
  4. membuat peraturan/kemungkinan dilakukannya pemberian bantuan dalam rangka penyidikan walaupun belum ada suatu perjanjian bilateral atau multilateral mengenai hal tersebut;
  5. adanya pengaturan yang mewajibkan pemberian dokumen kepada negara yang meminta dalam rangka penyediaan data keuangan;
  6. menganjurkan bank untuk menggalakan program “Know Your Customer” yaitu dengan meyakini dan mengetahui kebenaran identitas nasabah dalam setiap transaksi yang dilakukan;
  7. Membolehkan penyidik, pejabat polisi atau hakim memeriksa rekening bank yang mempunyai hubungan atau diduga mempunyai hubungan dengan money laundering;
  8. Lembaga keuangan sebaiknya membentuk suatu program untuk menghadapi kegiatan pemutihan uang yang meliputi pengembangan kebijakan, prosedur, dan kontrol intern; program training bagi pegawai; adanya fungsi audit untuk menguji sistem yang diterapkan.

Ketentuan yang berlaku di Indonesia pada prinsipnya tidak bertentangan dengan the Financial Action Task Force’s 40 Recommendations, namun masih terdapat rekomendasi yang belum/sulit sepenuhnya dilaksanakan oleh perbankan di Indonesia, antara lain:

  • Rekomendasi ke 15 yang menyebutkan bahwa apabila suatu lembaga keuangan menduga adanya dana yang berasal dari kejahatan, maka diharuskan melapor kepada pihak yang berwenang. Rekomendasi ini belum bisa diterapkan karena adanya ketentuan rahasia bank yang ketat sebagaimana diatur dalam pasal 40 UU Perbankan dengan pengecualian yang diatur secara Iimitatif dalam pasal 41 s,d. 44 A.;
  • Rekomendasi ke 16 yang belum dilaksanakan yaitu belum adanya perlindungan kepada lembaga keuangan dan para pegawainya terhadap tindakan hukum baik pidana maupun perdata sebagai akibat tindakannya mengungkapkan informasi dengan memberikan laporan atas dugaan adanya tindak pidana kepada pihak yang berwenang. Namun demikian hal ini sudah diatur dalam RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
  • Belum adanya peraturan yang mengharuskan pihak bank untuk tidak menerima rekening nasabah tanpa nama atau menggunakan identitas fiktif;
  • Belum terdapat standar yang ditetapkan oleh pemerintah/BI bagi perbankan untuk membuat program dalam rangka menjaga agar tidak terjadi praktek money laundering sesuai dengan rekomendasi ke 26;
  • Harus adanya izin dari Gubernur BI untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana sehubungan dengan penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk meminta informasi kepada bank mengenai rekening tersangka/terdakwa.

Berkaitan dengan beberapa pertimbangan atas belum/sulit dilaksanakannya beberapa rekomendasi dari FA TF oleh perbankan di Indonesia, seperti ketatnya ketentuan rahasia bank merupakan salah satu faktor pertimbangan bagi anggota FA TF termasuk Jepang dalam usahanya mengidentifikasi Indonesia apakah termasuk negara yang tidak dapat bekerjasama (Non Cooperative Countries and Territories/NCCTs) dalam rangka pencegahan kegiatan money laundering. Latar belakang dilakukannya identifikasi NCCTs oleh FATF adalah semakin meningkatnya kegiatan money laundering di beberapa negara/teritori/pusat keuangan (offshore financial centers) karena didukung oleh faktor-faktor seperti kurangnya ketentuan mengenai money ·Iaundering termasuk sejumlah hambatan dalam rangka mengidentifikasi nasabah, kurangnya pengawasan/ketentuan mengenai financial services, ketatnya ketentuan rahasia bank, kurangnya kerjasama internasional melawan kegiatan money laundering. Dalam rangka mendukung kestabilan dari sistem keuangan internasional dan pencegahan money laundering secara efektif, diharapkan semua pusat keuangan di dunia seyogianya memiliki system pengawasan dan ketentuan yang komprehensif. Juga penting bahwa semua lembaga atau agen financial intermediaries menjadi subyek kewajiban termasuk pencegahan, pendeteksian dan pengenaan sanksi dari kegiatan money laundering. Sejalan dengan prinsip 40 Rekomendasi dari FA TF maka penentuan criteria NTTCs adalah termasuk rekomendasi dimaksud.

Berkaitan dengan penentuan NCCTs dimaksud maka FATF melakukan beberapa hal secara bertahap:

  1. mengidentifikasi ketentuan dan praktek yang mempengaruhi efektifitas sistem pendeteksian dan pencegahan kegiatan money laundering termasuk hasil dari pengkajian secara judicial dan penentuan kriteria bagi NCCTs. Review dimulai dengan pengumpulan informasi mengenai ketentuan terbaru dan akurat di bidang pengawasan keuangan, money

laundering dan kerjasama internasional. Dari hasil pengumpulan dan review informasi dimaksud maka disusun jurisdiction report. Tujuan penilaian ini adalah menilai kecukupan dari kewenangan sistem keuangan, hukum dan penegakan hukum dalam pencegahan money laundering serta menilai apakah masing-masing kriteria dipenuhi oleh ketentuan dimaksud. Terdapat 25 kriteria yang tercakup dalam 4 area utama untuk mengidentifikasi NCCTs yaitu:

  • adanya loopholes dalam ketentuan-ketentuan keuangan/financial regulations. Seluruh sistem keuangan seharusnya diatur dan diawasi. Aspek pengawasan tidak hanya dalam hal ketentuan yang prudential namun juga implementasi atas pengawasan anti-money laundering. kriteria dimaksud misalnya tidak adanya atau kurang sesuainya ketentuan dan pengawasan mengenai lembaga keuangan (rekomendasi 26); kurangnya ketentuan dalam perizinan dan pendirian dari lembaga keuangan khususnya penilaian latar belakang manager dan pemilik (rekomendasi 29); kurangnya persyaratan dalam mengidentifikasi nasabah bagi lembaga keuangan; ketentuan kerahasiaan bank yang sang at ketat bagi lembaga keuangan; kurang efisiennya sistem pelaporan dari transaksi yang dianggap mencurigakan dsb.
  • adanya hambatan/obstacles dari ketentuan lainnya, misalnya kurangnya persyaratan mengenai pendaftaran badan usaha dan bisnis dalam hukum perusahaan/commercial law; kurangnya identifikasi atas pemilik dari badan usaha yang sah/legal. Hukum perusahaan dianggap sebagai faktor penting dalam memerangi kegiatan money laundering mengingat mekanisme hukum perusahaan sering digunakan dalam proses money laundering.
  • adanya hambatan dalam melaksanakan kerjasama internasional baik dari sisi administratif maupun sisi hukum Setiap negara dengan sistem keuangan yang terbuka seharusnya mempunyai otoritas adminsitratif dalam mengawasi aktivitas keuangan dl setiap sektor termasuk kewenangan dalam menerima dan menganalisa transaksi yang mencurigakan. Kewenangan ini tidak hanya bagi kebijakan anti money laundering negara ybs namun juga dimungkinkan bagi partisipasi kerjasama internasional dalam memerangi money laundering, misalnya kewenangan dalam hal pertukaran informasi tanpa adanya pembatasan. Setiap negara seharusnya juga merumuskan tindakan-tindakan kriminallpidana yang dianggap asal dari kegiatan pemutlhan uang termasuk juga adanya ketentuan yang memungkinkan pertukaran informasi secara internasional dan kerjasama dalam legal assistance.
  • Kurangnya resources dalam aktifitas pencegahan dan pendeteksian money laundering, misalnya kurangnya dukungan keuangan, tenaga dan teknis balk dalam sektor publik dan swasta dalam melakukan pengawasan dan investigasi. T ermasuk pula tidak adanya unit inteligen keuangan atau mekanisme yang serupa dalam mengumpulkan, menganalisa dan menyebarkan informasi mengenai transaksi yang dianggap mencurigakan kepada otoritas yang kompeten.
  1. menetapkan sebuah daftar negara atau teritori yang memenuhi kriteria dimaksud. Sebelum penetapan negara yang masuk NCCTs maka dilakukan face-ta-face meeting antara FA TF Asia Pacific Group dan reviewed jurisdiction. Daftar NCCTs diputuskan dalam FA TF plenary meeting dan daftar negara/teritori NCCTs dimaksud telah diterbitkan dalam bulan Juni 2000, ai, Bahamas, Cayman Islands, Cook Islands, Israel, Lebanon, Nauru, Panama, Philippines, Rusia dsb. Daftar ini akan di-update secara berkelanjutan.
  2. Selanjutnya anggota FA TF akan mengembangkan tipe baru dari “counter measures” dalam melindungi sistem keuangan dan perekonomian dari asal-usul uang yang tidak sah dan dari negara/teritori yang masuk list

NCCT s. Anggota FA TF diberi kebebasan apakah akan mengimplementasikan counter measures dimaksud, misalnya kewajiban bagi lembaga keuangan anggota FA TF mengidentifikasi customer atas transaksi keuangan yang dilakukan dengan individuallbadan usaha yang rekening ada di yuridiksi NCCTs; perlunya persyaralan khusus atau perhatian khusus bagi lembaga keuangan anggota FA TF dalam melakukan transaksi keuangan pihak yang rekeningnya ada pada lembaga keuanganyang didirikan oleh NCCTs; pilihan, pembatasan bahkan larangan dalam melakukan transaksi keuangan dengan NCCT s. FA TF bahkan akan menyusun additional counter measures.

Saat ini FATF sedang dalam tahap pengumpulan informasi mengenai ketentuan dan praktek di Indonesia yang terkait dengan kegiatan money laundering baik langsung maupun tidak langsung, misalnya hukum perbankan, UU BI, ketentuan hukum perusahaan, asuransi, pasar modal atau lembaga keuangan selain bank, Criminal Law including mutual legal assistance law in

criminal matters, RUU Money Laundering dsb. FATF mengharapkan adanya kerjasama yang baik dalam hal ini yaitu Pemerintah dan BI diharapkan memberikan informasi yang relevan, akurat dan tepat waktu. Tahapan proses penentuan apakah Indonesia masuk list NCCTs adalah :

  1. March 2001 : Draft a jurisdiction;
  2. April 2001       : seek comments on the draft from the reviewed jurisdiction;
  3. May 22-25      : Face to face meeting in Kuala Lumpur;
  4. Early June 2001 : Submit a jurisdiction report to the FA TF members;
  5. June 20-22 2001 : FA TF plenary meeting to decide on the NCCT list.

Apabila Indonesia diputuskan masuk list NCCTs menimbulkan konsekwensi seperti:

  1. Terganggunya transaksi keuangan/perbankan internasional mengingat bank-bank asing negara anggota FA TF akan lebih berhati-hati dan concern apabila akan melakukan transaksi keuangan internasional dengan bank-bank di Indonesia, misalnya tidak diakuinya LC dari bank Indonesia.
  2. Disamping itu perusahaan di Indonesia juga akan mengalami kesulitan apabila akan melakukan trans(lksi atau pinjaman LN dengan perusahaan/lembaga keuangan negara anggota FATF.
  3. Terganggunya program restrukturisasi perbankan apabila ketentuan perbankan atau lembaga keuangan Indonesia dianggap kurang memperhatikan latar belakang pengurus atau pemilik. Hal ini terkait dengan ketentuan fit & proper agar lembaga keuangan dan perbankan tidak diambil alih oleh para pelaku money laundering.
  4. Tindakan-tindakan memerangi penyalahgunaan system keuangan global (Report form G7 Finance Ministers to the Heads of State and Government) Okinawa, 21 July, 2000

Untuk mengamankan system keuangan internasional dari kejahatan keuangan, Menteri Keuangan dari negara G7 melakukan usaha-usaha untuk mencegah penyalahgunaan system keuangan global dari kejahatan keuangan, misalnya kegiatan money laundering dengan meningkatkan kerjasama dan memperkuatnya dalam kerangka internasional. Adalah hal yang crucial agar semua pusat keuangan memenuhi standard internasional dan bekerjasama secara efektif dalam rangka pemberantasan dan pencegahan money laundering. Sejalan dengan keinginan tersebut para Menteri Keuangan G 7:

  1. telah mengikuti keputusan dan rekomendasi dari FA TF yaitu review of the rules and practices of 29 countries and territories and its identification of 15 Para Menteri keuangan telah meminta agar lembaga-keuangan domestik mereka lebih berhati-hati dalam melakukan kegiatan bisnis dengan negara NCCTs atau transaksi cross-border yang dilakukan oleh individual atau badan usaha yang mempunyai rekening dalam jurisdiksi NCCTs.
  2. Negara G7 tetap meminta agar NCCTs meningkatkan anti money laundering regime dan menyempurnakan ketentuan mengenai anti money laundering. Mereka akan memberikan nasehat dan menyediakan bantuan teknis terhadap NCCTs dalam rangka mengambil langkah- langkah untuk mereformasi keadaan di NCCTs. Bahkan mereka akan mengimplementasikan counter measures terhadap NCCTs yang tidak mau memperbaiki system dan peraturan money laundering.
  3. Negara G7 mendukung kerjasama dalam rangka tukar menukar informasi di antara financial intelligence units yang melakukan kegiatan di negara G7 dalam memfasilitasi pertukaran informasi diantara authority anti money laundering.
  4. Negara G7 akan melakukan review dan melaporkan perkembangan dalam rangka persiapan summit tahun 2001. Mereka meminta FATF mempertimbangkan untuk merevisi 40 recommendations dengan mengacu pada issues, al, gatekeepers yaitu kemungkinan keterlibatan professional seperti lawyer dan accountant dalam kegiatan money laundering; international payments system yaitu negara G7 meminta agar komunitas keuangan dapat mengidentifikasi asal dari perintah pelaksanaan pembayaran cross-border.
  5. Menteri Keuangan negara G7 meminta offshore financial centers untuk mengimplementasi dan memperbaiki system kerjasama internasional, pertukaran informasi, identifikasi nasabah, abolition dari kerahasiaan bank yang sang at ketat, lembaga keuangan yang tidak dipengaruhi oleh para

criminals, resources untuk pengawasan keuangan, kepatuhan pada anti money laundering legislation, elimination dari harmful tax practices.

  1. Meningkatkan peranan lembaga keuangan internasional dalam membantu negara untuk mengadopsi standard internasional termasuk FATF’s 40

recommendations, the Basel Committee’s Core Principles dan IOSCO’s objectives and principles yang bertujuan untuk memerangi money laundering, memperkuat ketentuan dan kerjasama internasional, membangun sistem keuangan domestik. Mereka meminta IMF, World Bank dan International Financial Institutions untuk mendukung negara-negara dalam memerangi money laundering dalam konteks bantuan dan desain program sektor keuangan.

 

 

  1. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

  1. Kegiatan pemutihan uang meningkat sejalan dengan semakin berkembangnya kemajuan dibidang teknologi lembaga keuangan intemasional termasuk perbankan internasional, serta ditambah lagi dengan semakin cepatnya arus informasi dan komunikasi yang digunakan oleh lembaga keuangan internasional melalui wire transfers atau electronic funds transfers;
  2. Masih berkembangnya sistem keuangan di Indonesia, dianutnya sistem devisa bebas, diberlakukannya ketentuan rahasia bank bagi nasabah penyimpan dan simpanannya, belum dikategorikannya kegiatan money laundering sebagai tindak pidana, dan sistem pembayaran di Indonesia yang masih menitikberatkan pad a transaksi yang bersifat tunai merupakan faktorfaktor yang masih membuka peluang terhadap kegiatan pemutihan uang di Indonesia;
  3. Mengingat dampak yang ditimbulkan dari kegiatan pemutihan uang bersifat nasional dan internasional maka pemerintah Indonesia telah melakukan upaya dalam pemberantasannya. Beberapa langkah yang telah diambil antara lain dengan diterbitkannya UU dibidang psikotropika, pemberantasan tindak pidana korupsi, dan telah disusunnya RUU pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Disamping itu UU Bank Indonesia juga telah mengeluarkan peraturan dalam memerangi/mencegah kegiatan money laundering, misalnya, mengatur penghentian kegiatan transaksi di bank yang diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan; pembatasan jumlah uang rupiah yang dapat dibawa keluar/masuk wilayah pabean RI; peraturan Bank Indonesia yang mengatur kewajiban bank dan lembaga keuangan non bank untuk melapor perpindahan devisa dalam rangka transaksi; ketentuan larangan sumber uang hasil money

laundering bagi pemegang saham dan pemilik bank dan pembentukan Unit Khusus Investigasi Perbankan;

  1. Berkenaan dengan praktek .pemutihan uang dapat merusak lembaga keuangan termasuk sistim politik dan ekonomi suatu negara, maka sudah saatnya bagi Indonesia untuk mengadakan kerjasama dengan lembaga internasional termasuk pula melaksanakan rekomendasi dari organisasi internasional dimaksud, seperti FATF, apabila tidak ingin dianggap sebagai negara yang membiarkan tumbuh suburnya kegiatan money laundering. Dikategorikannya Indonesia sebagai negara yang tidak kooperatif dalam memerangi kegiatan money laundering akan memberikan konskwensi di bidang perbankan, ai, terganggunya transaksi keuangan internasional dan program restrukturisasi dari perbankan Indonesia yang juga memberikan dampak negatif bagi kegiatan perusahaan Indonesia.

 

 

Disampaikan dalam rangka “Arthur Andersen

Money Laundering Executive Seminar” The Regent Hotel, Selasa 20 Maret 2001.

Tinggalkan Balasan