Jakarta
agus.amin@gmail.com
+6287773379281

AKHIRI POLEMIK PENGGUNAAN UANG ELEKTRONIK

AKHIRI POLEMIK PENGGUNAAN UANG ELEKTRONIK

Oleh Yunus Husein, Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera

Polemik mengenai penggunaan uang elektronik setidaknya meliputi dua hal. Pertama  mengenai biaya dan kerugian  penggunaan uang elektronik. Kedua, tentang Peraturan Bank Indonesia yang mengatur tentang uang elektronik dianggap  bertentangan dengan Undang-undang no. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Dua masalah itu harus segera diakhiri agar penggunaan uang elektronik dapat berjalan dengan baik.

Uang elektronik adalah uang yang tersimpan dalam bentuk kartu atau bentuk lainnya sebagai pengganti uang tunai yang digunakan untuk melakukan transaksi pembayaran  di merchant yang telah bekerjasama dengan bank penerbit uang elektronik. Uang elektronik yang dipakai pada transaksi jalan tol adalah uang elektronik jenis chip-based atau card-based yang diterbikan bank.

Ada beberapa biaya atau beban yang dikenakan terhadap konsumen yang  menggunakan kartu uang elektronik, yaitu biaya perolehan kartu dan biaya top up. Selain itu uang yang tersisa pada kartu tidak mendapat bunga, tidak dijamin, sehingga kalau hilang tidak bisa diblokir atau tidak diganti oleh bank. Untuk memiliki kartu uang elektronik diperlukan biaya perolehan, rata-rata dua puluh ribu rupiah. Kalau kita membeli kartu lima puluh ribu rupiah, maka konsumen akan mendapatkan kartu dengan saldo tiga puluh ribu rupiah. Di lain pihak  bank memperoleh dana murah dari masyarakat tanpa harus  membayar bunga. Tampaknya lebih banyak biaya yang ditanggung konsumen, dibandingkan nasabah, misalnya identitas para peserta.

Kartu ini nilainya dapat ditambah nilainya (top up) melalui banknya sendiri  (on us) atau melalui bank lain atau agen (off us). Penambahan nilai kartu ada yang dikenakan biaya ada yang tidak, misanya kartu yang terkait dengan kegiatan sosial. Dengan dikenakannya biaya perolehan dan biaya  untuk top up uang elektronik, masyarakat pengguna uang elektronik menanggung beban biaya yang relatif mahal. Hal ini dapat membuat masyarakat enggan menggunakan uang elektronik yang sudah tentu dapat menghambat pelaksanaan Gerakan Nasional Non Tunai yang dicanangkan Bank Indonesia dan Pemerintah. Oleh karena itu pengaturan uang elektronik ini harus dilakukan dengan hati-hati.

Tidak ada salahnya Indonesia  belajar dari negara lain. Banyak negara tetangga  yang menggunakan uang elektronik seperti Singapura, Hongkong, Malaysia dan Jepang. Ada negara seperti Hongkong dan Jepang tidak mengenakan biaya atas top up biaya uang elektronik. Pengaturan biaya top up uang elektronik khususnya untuk kartu yang di top-up pada banknya sendiri (on us) yang selama ini gratis, tidak perlu diatur  karena mekanismse pasar sudah berjalan dan bank khususnya bank-bank milik negara sudah merelakannya. Suatu prinsip dalam pengaturan adalah pemerintah tidak perlu mengatur kalau mekanisme pasar sudah berjalan atau tidak ada permasalahan yang harus dipecahkan. Kalau terjadi market failure atau ada masalah yang harus dipercahkan barulah pemerinah intervensi dalam bentuk pengaturan. Untuk top up uang elektronik melalui bank lain atau agen (off us) dapat saja dikenakan biaya sesuai dengan kebijakan bank atau agen, tetapi perlu tetap melindungi konsumen.

Masalah kedua apakah penggunaan uang elektronik bertentangan dengan Undang-undang no. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang. Pasal 21 Undang-undang tersebut  mewajibkan uang rupiah digunakan dalam transaksi di wilayah Indonesia. Kalau uang rupiah dipakai dalam transaksi pembayaran, maka rupiah tidak boleh ditolak (pasal 23) Kewajiban dan larangan tersebut diperkuat dengan ancaman pidana  dalam Pasal 33 Undang-undang yang sama. Apakah penolakan uang tunai (kartal) dalam transaksi pembayaran jalan tol melanggar Undang-Undang tentang  Mata Uang ? Penulis  sependapat dengan Bank Indonesia, bahwa hal itu tidak melanggar Undang-undang Mata Uang, karena yang terjadi bukanlah penolakan rupiah, tetapi transaksi di jalan tol menggunakan uang rupiah yang secara teknis berupa uang elektronik dalam bentuk kartu, bukan dalam bentuk uang tunai (kartal).Ini juga bukan diskriminasi terhadap uang rupiah dalam bentuk uang kertas dan uang logam.

Bank Indonesia menafsirkan pengertian uang dalam Undang-undang Mata Uang dengan penafsiran yang luas  dalam bentuk generik yang dalam bahasa Inggris disebut dengan  currency. Currency bentuknya dapat berupa uang tunai, tetapi juga uang rupiah dalam bentuk elektornik. Penggunaan uang elektronik dalam transaksi di jalan tol jelas bermanfaat banyak bagi pengelola jalan tol, pemakai jalan tol dan bank.Transaksi dengan uang elektronik lebih cepat, efisien, aman dan lancar.Transaksi ini juga mengurangi biaya penanganan uang tunai (cash handlin), mencegah  resiko dicurinya uang dan masuknya uang palsu dalam transaksi  di jalan tol. Selama ini transaksi di   jalan tol seringkali disisipi dengan uang palsu. Penggunaan uang elektronik merupakan penghematan yang signifikan dalam biya pencetakan dan pegedaran uang yang jumlahnya triliunan rupiah dalam satu tahun.

Akhirnya marilah menatap ke depan. Sudah saatnya  polemik mengenai penggunaan uang elektronik diakhiri agar Gerakan Masyarakat Non Tunai menjadi lebih maju dan bermanfaat untuk semua. Untuk mereka yang bersikeras untuk tetap menggunakan uang rupiah dalam bentu uang kartal tetap diberi kesempatan atau loket walaupun hanya sedikit dibandingkan dengan penggunaan uang elektronik. Dengan demikian semua kepentingan terpenuhi dan perekonomian Indonesia menjadi lebih maju karena adanya pembayaran dengan uang elektronik yang cepat, aman dan handal.

Tinggalkan Balasan