ERA BARU PENYIDIKAN PENCUCIAN UANG

ERA BARU PENYIDIKAN PENCUCIAN UANG

Babak Baru Pencucian Uang

Oleh Yunus Husein, Kepala PPATK 2002-2011, dosen FHUI dan STHI Jentera.

 

Pencucian uang adalah setiap upaya atau perbuatan  menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana,  atau perbuatan mengalihkan bentuk atau memindahkan hasil tindak pidana dengan tujuan menyamarkan dan menyembunyikan asal-usulnya, sehingga hasil tindak pidana tersebut seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah. Di Indonesia, pencucian uang dikriminalisasi oleh Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak  Pidana Pencucian Uang sejak 17 April 2002.

Kemudian dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XIX/2021  tanggal 31 Juni 2021, penyidikan Perkara TPPU dapat dilakukan oleh seluruh penyidik Tindak Pidana  Asal (TPA atau predicate crime) baik penyidik Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan, Badan Narkotika Nasional, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).  Dari sekitar empat puluh PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) , ada sekitar sepuluh penyidik yang lazim melakukan penyidikan. Permasalahannya apakah PPNS sudah siap penyidik perkara TPPU ? Persiapan apa yang harus dilakukan ?

Putusan Mahkamah Konstitusi

Sejak lahirnya Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) penyidikan perkara TPPU dilakukan oleh penyidik Kepolisian sampai Oktober 2010 dengan lahirnya UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Sejak Oktober 2010 berdasarkan penjelasan Pasal 74 UU TPPU penyidikan perkara TPPU dilakukan oleh enam penyidik saja, yaitu  penyidik-penyidik  Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Direktorat Jenderal Pajak dan Badan Narkotika Nasional dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Penjelasan ini mempersempit norma yang ada dalam Pasal 74 yang membolehkan setiap penyidik Tindak Pidana Asal untuk menyidik perkara TPPU. Penjelasan Pasal 74 inilah yang dimohonkan pembatalannya ke Mahkamah Konstitusi oleh dua orang penyidik Kementeriam Lingkungan Hidup dan  Kehutanan dua orang penyidik   Kementerian Kelautan dan Perikanan secara bersamaan.

 

Permohonan didasarkan pada alasan, bahwa Penjelasan Pasal 74 UU TPPU  menimbulkan diskriminasi terhadap para Penyidik. Enam penyidik boleh menyidik TPPU sementara penyidik lainnya tidak berwenang. Di samping itu, penjelasan Pasal 74 ini juga memberikan diskriminasi terhadap  para pelaku TPPU. Pelaku TPPU  dapat disidik oleh enam penyidik tersebut di atas, tetapi  tidak dapat disidik oleh penyidik lainnya. Untuk pelaku anggota Tentara Nasional Indonesia, tidak dapat diperiksa oleh penyidik manapun baik enam penyidik tersebut di atas atau penyidik lainnya. Situasi ini menimbulkan ketidak pastian hukum dan tidak sesuai dengan prinsip peradilan yang cepat, sederhan dan biaya murah. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 24,  Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (1)  Undang-undang Dasar 1945 dan Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tanggal 29 Juni 2021 memutuskan mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan, bahwa penjelasan pasal 74 “penyidik Tindak PIdana Asal” yang hanya menyebut  penyidik Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai,  bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan, adalah tidak relevan memisahkan penyidik TPA dan TPPU, karena menyulitkan pembuktian, tidak efisien, perlu pelimpahan perkara kepada penyidik Kepolisian dan proses yang berulang. Hal ini tidak  sejalan dengan azas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan seperti diatur dalam Pasal 2 ayat (4) NN No, 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Oleh karena itu, pemisahan tersebut tidak dapat dibenarkan. Selain itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan, bahwa  penjelasan UU adalah tafsir resmi dari UU dan tidak boleh bertentangan dengan pasal/batang tubuh, tidak memperluas, mempersempit, atau menambah pengertian norma dalam UU, tidak memuat atau mengandung pendelegasian. Penjelasan Pasal 74 jelas mempersempit pengertian Penyidik Tindak Pidana Asal. Penjelasan Pasal 74 menimbulkan diskriminasi penanganan perkaran. Selanjutnya Mahkamah menjelaskan, bahwa  secara substansi atau prosedural  tidak ada relevansi untuk mengadakan pemisahan penyidik TPA dan penyidik TPPU.

National Risk Assesment

Menurut  standar internasional yang ditetapkan oleh Financial Action Task Force  on Money Laundering (FATF) setiap negara harus melakukan national risk assesment terhadap kemungkinan terjadinya Tindak Pidana  Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pencegahan Pendanaan Terorisme (TPPT). Dalam risk assessment  tahun 2021 yang dilakukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bersama instansi terkait dan beberapa Universitas, diketahui bahwa tindak pidana yang menjadi sumber utama TPPU adalah korupsi, narkotika, perpajakan,perbankan dan kehutanan, penipuan dan lingkungan hidup.  Tindak pidana korupsi dan narkotika berada pada peringkat satu dan dua dengan resiko tinggi, sementara tindak pidana kehutanan dan lingkungan hidup menempati  kelima dan ketujuh dengan risiko menengah. Seharusnya risiko tersebut harus sejalan dan tercermin  dengan pertukaran informasi,  hasil analisis dan hasil pemeriksaan PPATK, penyidikan, penuntutan dan pemulihan asset yag seharusnya  mencerminkan tindak-tindak pidana tersebut. Faktanya semuanya belum sejalan. Disamping itu, mengingat tindak pidana kehutanan, tindak pidana lingkungan hidup berada pada resiko menengah, sewajarnyalah penyidik  pegawai negeri sipil di bidang kehutanan dan lingkungan hidup juga berwenang menyidik perkara TPPU yang berasal dari tindak pidana di bidang kehutanan dan lingkungan hidup.

Adapun manfaat penerapan UU TPPU adalah sebagai berikut : untuk mengurangi angka kriminalitas, rezim Anti Pencucian Uang lebif efektif, meningkatkan pendapatan negara, mengurangi underground economy, sistem keuangan dan perdagangan menjadi  lebih stabil dan dipercaya karena tidak disalahgunakan oleh pelaku kriminal. Kesemuanya dapat  mendorong terciptanya pemerintahan, politik, ekonomi,  masyarakat dan lingkungan hidup  yang bersih. Oleh karena itu PPNS dan penyidik lainnya harus didorong untuk lebih banyak lagi menerapkan UU TPPU, antara lain dengan melakukan pencarian Bukti Permulaan, atau PULBAKET (Pengumpulan Bahan dan Keterangan)  dan tidak selalu menegakkan hukum dengan operasi tangkap tangan terlebih dahulu.

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan

Seluruh penyidik PPNS harus memiliki kompetensi dan integritas dan Surat Keputusan (SKEP) dari Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia untuk menyidik TPPU. Masing-masing instansi PPNS harus  memiliki pedoman penyidikan yang disusun dengan melibatkan instansi terkait, seperti PPATK, penyidik lain, penuntut umum. Selanjutnya penyidik PPNS yang menemukan adanya bukti permulaan yang cukup terjadinya TPPU pada waktu menyidik Tindak Pidana Asal, harus menggabungkan penyidikan kedua perkara tersebut dan menyampaikan pemberitahuan kepada PPATK. (Pasal 75 UU TPPU).Di sini terjadi gabungan tindak pidana, yaitu adanya lebih dari satu perbuatan yang terjadi pada tempat dan waktu yang berbeda yang melanggar lebih dari satu Undang-undang. Disebut juga dengan concursus realis atau samenloop. Mengingat perkaranya digabung, maka hukum materil dan hukum formil/acaranya juga gabungan. Menurut Pasal 86 UU TPPU Hukum acara yang dipakai pada waktu memeriksa perkara TPA dan TPPU adalah Hukum Acara gabungan yang berasal dari berbagai UU antara lain Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, UU tentang TPA, TPPU, UU ITE, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya, . Kekurangan yang ada pada satu UU dapat diisi atau diatasi oleh UU lain. Misalnya KUHAP tidak mengenal alat bukti elektronik, maka hal ini dapat diisi dengan Pasal 5 UU ITE yang mengenal  data/dokumen elektronik.

Walaupun putusan MK yang memberikan penyidikan TPPU kepada PPNS  tertanggal 31 Juni 2021, tetapi kewenangan menyidik perkara TPPU berlaku surut sampai tanggal 17 April 2002, yaitu  sejak pencucian uang dikriminalisasi oleh UU No. 15 Tahun 2002 yang berlaku sejak 17 April 2002. Hukum acara yang bersifat administratif boleh berlaku surut sampai 17 April 2002. Hal  yang tidak boleh diberlakukan surut adalah hukum materiel yang menkriminalisasi suatu perbuatan.

Dalam hal ada beberapa UU yang dipakai dalam pemeriksaan perkara gabungan  TPA dan TPPU , perlu diperhatilan UU mana yang bersifat lex specialis (bersifat khusus) dan yang mana lex generalis, (berlaku umum). Yang bersifat umum atau lex generalis tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang serig disimpangi oleh UU yang berlaku khusus (lex specialis). Misalnya KUHAP tidak mengenal pembalikan beban pembuktian, tetapi UU TPPU mengenal pembalikan beban pembuktian, maka yang berlaku adalah UU yang bersifat lex specialis, yaitu UU TPPU. Dalam hal UU TPA bersifat lex specialis dan KUHAP bersifat lex generalis,  maka yang berlaku UU tentang TPA. Apabila UU TPA berbeda dengan UU TPPU, pakailah ketentuan yang menguntungkan penegakan hukum, misalnya  Pasal 73B ayat (6)  UU No.  31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengn UU No. 45 Tahun 2009 (UU Perikanan)  memberikan waktu tiga puluh hari setelah penyampaian  SPDP untuk melakukan penyidikan, sementara UU TPPU tidak memberikan batas waktu, maka pergunakanlah UU TPPU yang lebuh leluasa.

Dalam hal KUHAP menentukan PPNS menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan hasil penyidikan kepada Jaksa melalui Koordinator Pengawas dan Pembina PPNS (KORWASBIN) yang berada di bawah Kepolisian.Apabila UU yang mengatur TPA menyebutkan PPNS dapat menyampaikan langsung hasil penyidikannya  langsung kepada Kejaksaan, maka yang berlaku ketentuan yang ada dalam UU TPA, yaitu langsung kepada Kejaksaan. Misalnya Pasal  73B ayat (1) dan ayat (6) UU UU Perikanan mengatur, bahwa penyidik tindak pidana perikanan menyampaikan SPDP  kepada penuntut umum paling lama tujuh hari sejak ditemukannya tindak pidana di bidang perikanan dan menyampaikan hasil peyidikan tiga puluh hari sejak tanggal SPDP. Dalam hal UU TPA tidak mengatur demikian, PPNS sebaiknya menyampaikan SPDP dan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Korwasbin.

Dalam hal perkara TPA harus diperiksa oleh pengadilan Adhoc, seperti Pengadilan Perikanan yang memiliki hakim Adhoc sebagaimana diatur dalam pasal 71 UU Perikanan, sementara perkara TPPU dapat diperiksa di pengadilan umum , maka perkara dapat dipisah dan diadili dua kali oleh pengadilan yang berbeda. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip peradilan yang cepat . sederhana dan biaya ringan. Idealnya perkara digabungkan dan diperiksa oleh pengadilan umum. Di sini diperlukan fatwa atau Peraturan atau Surat Edaran Mahkamah Agung yang menjawab masalah ini.

PPNS perlu belajar dari pengalaman penyidik TPPU yang sudah berpengalaman,  misalnya penyidik TPPU dari Kepolisian,Badan Narkotika Nasiona, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidik Direktorat Jenderal Pajan dan penyidik Direktorat Jenderal Bea Cukai. Kalau perlu belajarlah dari pengalaman penuntut umum dan hakim di dalam menangani perkara TPPU. Kalau perlu adakanlah training bersama agar ada persamaan persepsi.

Agar penyidikan perkara TPA dan TPPU berjalan dengan cepat efisien dan biaya ringan, sebelum dan pada waktu penyidikan harus dilakukan koordinasi yang baik dengan PPATK, Kordinator  Pengawas dan Pembina PPNS (KORWASBIN) Kepolisian Republik Indonesia,  dan penuntut umum, kalau perlu duduk bersama. Apalagi Pihak Kejaksaan berniat hanya akan memberikan satu kali saja petunjuk (P19), sehingga koordinasi yang erat sangat dibutuhkan. Hal ini perlu dilakukan karena pengalaman PPNS belum banyak dan memiliki kelemahan di dalam penguasaan hukum acara. Disamping itu, untuk PPNS yang tidak memiliki kewenangan untuk melakukan upaya paksa, seperti penangkapan, penahanan dan penyitaan Harta Kekayaan hasil tindak pidana, kerjasama dengan KORWASBIN mutlak diperlukan, agar Kepolisian dapat membantu melakukan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan dan penyidikan. Di sini diperlukan Kerjasama yang baik , teliti dan akurat terkait dengan instansi manakah yang harus menerbitkan  dokumen-dokumen  yang harus diterbitkan, seperti Surat Perintah Penyidikan, Surat Perintah Penangkapan, Surat Perintah Penahanan dan Surat Perintah Penyitaan. Apakah pada waktu upaya paksa dilakukan , surat perintah dikeluarkan instansi PPNS yang menyidik TPA dan TPPU ? Ataupah surat perintah dikeluarkan oleh instansi Kepolisian yang membantu PPNS melakukan upaya paksa ? Idealnya seluruh PPNS  memiliki kewenangan upaya paksa untuk menangkap, menahan dan menyita Harta Kekayaan hasil kejahatan. Untuk itu UU yang mengatur TPA dan kewenangan PPNSnya perlu direvisi.

Upaya Optimalisasi

Untuk optimalisasi penyidikan perkara TPPU oleh PPNS ada beberapa hal yang harus dilakukan : PPNS,PPATK, Kejaksaan perlu menyamakan persepsi,misalnya dengan training bersama,  sehingga sinergi lebih mudah dilakukan. Masing-masing instansi PPNS perlu menyusun pedoman penyidikan TPPU, melakukan  kordinasi kordinasi antara para penegak hukum dan PPATK perlu diintensifkan, Mahkamah Agung perlu membuat Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) atau Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) atau Surat Edaran Kamar Pidana,  untuk  mengisi kekurangan atau kekosongan hukum acara dan untuk menjaga kepastian hukum. Misalnya UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan  No. 45 Tahun 2009 mengatur, bahwa tindak pidana perikanan diadili oleh Pengadilan Perikanan dengan majelis hakim yang di dalamnya ada hakim ad hoc perikanan, sementara perkara TPPU dapat diadili di Pengadilan Negeri dengan majelis hakim yang biasa. Kami cenderung perkara TPA dan TPPU dibolehkan diperiksa oleh pengadilan umum dengan majelis hakim yang biasa, tidak harus ada hakim ad hoc.

Selain itu akhirnya, kita semua dapat juga belajar dari yurisprudensi pengadilan di dalam dan luar negeri dengan mengumpulkan dan mempelajari putusan pengadilan di dalam dan luar negeri. Setelah itu dilakukan anotasi untuk mempermudah mempelajarinya. Dalam hal tertentu, misalnya kalau ada putusan pengadilan yang menyimpang dapat dilakukan eksaminasi untuk meluruskannya. Selain itu ulasan-ulasan kasus TPPU dalam jurnal di dalam dan luar negeri yang membahas perkembangan mutakhir kasus TPPU perlu dipelajari dengan seksama.

Semoga dengan semakin banyaknya penyidik TPPU yang meliputi penyidik Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Badan Narkotika Nasional dan seluruh PPNS tingkat kriminalitas dapat berkurang dan stabilitas dan reputasi sistem keuangan dan perdagangan dapat dipelihara. Dengan meningkatkan penegakan hukum terhadap perkara TPPU pemerintahan yang semakin bersih dapat tercipta dan  impian Indonesia  dapat menjadi anggota Financial Action Task Force on Money Laundering segera menjadi kenyataan. Semoga.

 

Tinggalkan Balasan