Jakarta
agus.amin@gmail.com
+6287773379281

KONFLIK KEPENTINGAN DALAM PROMOSI MEIKARTA

KONFLIK KEPENTINGAN DALAM PROMOSI MEIKARTA

Oleh: Yunus Husein, Dosen FHUI dan Ketua Sekolah Tinggi Hukum Jentera

Akhir-akhir ini beberapa penyelenggara negara seperti Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Menteri, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, dan pimpinan beberapa Partai Politik mendukung proyek pembangunan kota modern berskala internasional, Meikarta, Cikarang yang bernilai investasi dua ratus tujuh puluh delapan triliun rupiah (Rp278 triliun). Dukungan diberikan dalam bentuk pernyataan dan kehadiran di lokasi proyek tersebut. Apakah dukungan penyelenggara negara dalam bentuk pernyataan dan kehadiran tersebut menunjukkan dugaan adanya konflik kepentingan (conflict of interest) yang melanggar aturan atau Etika ?

Di lain pihak Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dalam dua Pernyataaan Persnya pada tanggal  10 Agustus dan 18 September 2017 menyatakan, bahwa Proyek Meikarta masih bermasalah karena melanggar beberapa Undang-undang dan belum memiliki izin yang lengkap. Bahkan himbauan Wakil Gubernur Jawa Barat Dedy Mizwar yang  meminta pengembang Apartemen Meikarta untuk menghentikan penjualan dan segala aktivitas pembangunan, karena belum berizin, tidak digubris sama sekali.

Lebih jauh menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Lippo Group yang memiliki proyek Meikarta tersebut setidaknya menabrak  3 aturan, yaitu  Undang-undang  No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Etika Pariwara Indonesia. Disamping itu, terdapat keluhan konsumen yang merugi  dalam bentuk  booking fee yang tidak dapat diminta kembali yang sebelumnya tidak jelas perjanjiannya dan konsumen dipaksa melakukan pembayaran uang muka dan angsuran tanpa kepastian penyerahan unit. Sehubungan dengan itu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia meminta konsumen menunda pembelian apartemen di Meikarta, Cikarang.

Mendengar sikap Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia seperti itu beberapa penyelenggara negara memberikan beberapa reaksi. Pertama, pada tanggal 2 Oktober Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Zulkifli Hasan menyatakan proyek Meikarta patut diapresiasi. Masyarakat jangan termakan isu miring, bahwa proyek Meikarta belum memiliki izin. Kedua, pada tanggal 13 Oktober anggota Dewan Pertimbangan Presiden Suharso Manoarfa menyatakan tidak ada permasalahan serius terkait proyek Meikarta dan seharusnya semua pihak mendukung. Ketiga, pada tanggal 29 Oktober 2017 Menteri Koordinator Bidang Maritim Luhut B Panjaitan hadir pada acara pemasangan atap bangunan (topping off) dua apartemen Meikarta. Selain itu Menko Maritim mengusulkn agar Light Rapid Tranit  yang semula dibangun sampai Bekasi diteruskan sampai ke proyek Meikarta.

Pernyataan dukungan para penyelenggara negaran terhadap proyek  Meikarta disampaikan pada bulan Oktober 2017 setelah sikap Yayasan Lembaga Konsumen yang disampaikan Agustus dan September. Dari urut-urutan waktu  jelaslah bahwa pernyataan penyelenggara negara tersebut bukan atas inisiatif sendiri, tetapi direncanakan atas permintaan pemilik proyek Meikarta. Apakah dukungan penyelenggara negara yang bernada konflik kepentingan diperbolehkan olah aturan atau etika. ?

Memang aturan mengenai konflik kepentingan ini tersebar dan  belum memadai, misalnya gratifikasi diatur dalam Pasal 12B Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya. Pemahaman tentang konflik kepentingan juga beragam yang menimbulkan penafsiran yang berbeda.  Oleh karena itu Komisi Pemberantasan Korupsi  menerbitkan Buku Panduan Penanganan Konflik Kepentingan bagi Penyelenggara Negara (2009). Menurut Panduan  terebut, Konflik kepentingan adalah situasi dimana seorang penyelenggara negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya, sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya. Salah satu faktor penyebab korupsi di Indonesia adalah adanya konflik kepentingan yang dilakukan penyelenggara negara. Seringkali antara kepentingan pribadi dan kepentingan negara atau jabatan tercampur dan sulit dipisahkan. Misalnya penyelenggara negara menggunakan fasilitas kantor di dalam menyelesaikan urusan pribadinya. Dalam kasus Meikarta ini, penyelenggara negara melakukan perbuatan mendukung pembangunan mega proyek Meikarta yang dengan sendirinya juga mendukung penjualan apartmen Meikarta tersebut.

Dukungan tersebut diberikan sudah tentu ada sebabnya, misalnya hubungan afiliasi seperti pertemanan, gratifiasi atau adanya kepentingan pibadi. Seharusnyalah seorang penyelenggara negara berhati-hati di dalam membuat pernyataan atau bertindak  yang sudah tentu dikaitkan dengan jabatannya. Apalagi kalau pernyataan atau tindakan yang di satu sisi dapat menguntungkan diri sendiri atau pihak tertentu, tetapi dapat merugikan publik. Di sinilah letak konflik kepentingan itu yang mudah merasakannya, tetapi  sulit menjerat dan membuktikannya. Untuk membuktikan adanya pelanggaran aturan  diperlukan upaya dan waktu untuk melihat apakah ada  transaksi keuangan atau transaksi lain  antara pemilik proyek proyek Meikarta dengan para penyelenggar negara tersebut. Apakah ada gratifikasi dalam bentuk uang, barang atau potongan harga dll.

Konflik kepentingan seperti ini banyak terjadi di Indonesia sejalan dengan tingkat korupsi yang masih tinggi. Masalah ini tidak boleh dibiarkan, tetapi  harus dikurangi atau dihapuskan. Menurut buku Panduan tersebut di atas prinsip dasar untuk menangani konflik kepentingan adalah melalui perbaikan pada: nilai, sistem, pribadi dan budaya. Walaupun perbaikan ini memakan waktu  lama, tetapi harus dimulai sekarang dari diri sendiri  secara konsisten dan berkelanjutan.Ada beberapa prinsip yang harus selalu diperhatikan untuk perbaikan. Pertama, penyelenggara negara harus selalu mengutamakan kepentingan umum. Kedua menciptakan transparansi dalam penanganan  dan pengawasan konflik kepentingan. Ketiga, mendorong keteladanan dan tanggung-jawab pribadi dan keempat menciptakan dan membina budaya organsasi yang tidak toleran terhadap konflik kepentingan. Para penyelenggara negara yang remunerasi dan seluruh fasilitasnya dibayar oleh uang rakyat harus memberikan teladan  yang baik dan bersikap yang menguntungkan rakyat.

Tinggalkan Balasan