Jakarta
agus.amin@gmail.com
+6287773379281

Keterangan ahli Dr. Yunus Husein, S.H.,LL.M, Dalam Permohonan Uji Materi Nomor 102/PUU-XVIII/2020

Keterangan ahli Dr. Yunus Husein, S.H.,LL.M, Dalam Permohonan Uji Materi Nomor 102/PUU-XVIII/2020

Keterangan ahli Dr. Yunus Husein, S.H.,LL.M

Dalam Permohonan Uji Materi Nomor 102/PUU-XVIII/2020

 

Kepada

Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi,

 

Perkenankan saya untuk menyampaikan keterangan saya selaku Ahli terkait dengan permohonan pengujian undang-undang dalam perkara Nomor 102/PUU-XVIII/2020. Setelah mempelajari permohonan Pemohon, dapat saya pahami bahwa pada pokoknya Pemohon berpandangan bahwa Pasal 12A ayat (1) Undang-Undang Perbankan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Adapun alasan yang melatar belakangi diajukannya permohonan tersebut pada pokoknya terkait dengan hambatan yang dialami oleh Pemohon untuk ikut serta sebagai peserta lelang dalam pelelangan agunan nasabah debiturnya, yang dipandangnya disebabkan oleh Pasal 12A ayat (1) Undang-Undang Perbankan.

Terkait dalil pemohon tersebut, saya sampaikan pandangan saya sebagai berikut:

 

  1. BPR dapat melakukan kegiatan terkait Agunan yang Diambil Alih (AYDA) berdasarkan Peraturan OJK

Apabila diperhatikan Pasal 12A ayat (1) Undang-Undang Perbankan, dapat dengan jelas dilihat bahwa subyek yang diatur adalah Bank Umum. Dengan kata lain, Bank Perkreditan Rakyat tidak menjadi objek pengaturan dalam Pasal 12A ayat (1) Undang-Undang Perbankan. Akan tetapi, apakah fakta bahwa tidak disebutnya Bank Perkreditan Rakyat dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Perbankan berarti bahwa Bank Perkreditan Rakyat tidak boleh mengikuti lelang dalam pelelangan agunan nasabah debiturnya? Terkait hal ini, Ahli berpandangan bahwa Bank Perkreditan Rakyat semestinya dapat mengikuti lelang dalam pelelangan agunan nasabah debiturnya. Adapun pandangan ini ahli sampaikan dengan didasarkan pada alasan sebagai berikut:

  • Tidak ada larangan bagi BPR untuk menjadi peserta lelang dalam pelelangan agunan nasabah debiturnya dalam Undang-Undang Perbankan

Undang-Undang Perbankan membatasi jenis kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Perkreditan Rakyat dalam Pasal 13, yang diantaranya meliputi kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dan memberikan kredit. Selanjutnya, dalam Pasal 14 diatur mengenai kegiatan apa saja yang dilarang untuk dilakukan oleh BPR, yang meliputi menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran, melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, melakukan penyertaan modal, melakukan usaha perasuransian dan melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Dari kedua Pasal tersebut, tidak ditemukan larangan secara eksplisit mengenai kegiatan BPR untuk menjadi peserta lelang dalam pelelangan agunan nasabah debiturnya.

Dari aspek sejarah pembentukan peraturan perundang-undangan, tidak disebutkannya BPR secara eksplisit dalam Pasal 12A tidak terlepas dari kondisi pada saat dibentuknya Undang-Undang pada tahun 1998 (Setelah Krisis Perbankan/Perekonomian  1997-1998), pada saat itu BPR belum berkembang seperti sekarang  dan belum siap untuk membeli agunan kredit macet, sehingga pada dirasa belum perlu secara khusus mengatur mengenai pengambil alihan agunan bagi BPR. Seiring berjalannya waktu, BPR mulai berkembang dan dirasa perlu untuk diberikan peluang untuk melakukan pengambil alihan agunan. Oleh karena itu, dibentuklah peraturan perundang-undangan untuk mengisi kekosongan tersebut melalui Peraturan Bank Indonesia, yang kemudian digantikan oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Lebih lanjut terkait hal ini akan dibahas pada sub-poin selanjutnya.

Dari sudut pandang kegiatan usaha perbankan, keikutsertaan BPR dalam pelelangan semestinya dipahami sebagai bagian dari menjalankan kegiatan usaha BPR berupa memberikan kredit. Dalam menjalankan kegiatan usaha berupa memberikan kredit, Bank meminta pengaju kredit untuk menyerahkan agunan sebagai wujud dari prinsip kehati-hatian. Oleh karena itu, tindakan eksekusi atas agunan tersebut pada dasarnya merupakan perwujudan dari prinsip kehati-hatian. Untuk mengatasi kredit macet yang dialaminya, beralasan untuk memberikan kesempatan Bank (termasuk BPR) untuk ikut menjadi peserta lelang.

Kredit macet tentu menjadi hal yang harus segera ditanggulangi oleh bank, mengingat konsekuensi sistemik dari terjadinya kredit macet dapat memperburuk kualitas asset bank dan memperburuk tingkat kesehatan bank. Lebih-lebih lagi, menurut ketentuan yang berlaku, apabila ada kredit macet bank harus menyisihkan dana 100 % dari nilai kredit macet tersebut sebagai pembentukan penyisihan penghapusan aset produktif yang sudah tentu akan mengurangi permodalan dan likuiditas bank. Hal ini akhirnya dapat mengganggu  pelaksanaan kegiatan usaha bank. Terlebih lagi, peran BPR sangat vital dalam menjalankan fungsi perantara keuangan (financial intermediary) kepada kelompok-kelompok usaha kecil. Apabila kegiatan usaha BPR terhambat, maka dampaknya juga akan dirasakan oleh masyarakat, khususnya pelaku usaha kecil.

 

  • BPR dapat menjadi peserta lelang berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Pasal 12A ayat (1) Undang-Undang Perbankan memang tidak menyebut BPR sebagai pihak yang dapat menjadi peserta lelang dalam pelelangan agunan nasabah debiturnya. Akan tetapi, Undang-Undang Perbankan juga tidak melarang BPR untuk menjadi peserta lelang dalam pelelangan tersebut. Sedangkan disisi lain, perlu diakui bahwa keikutsertaan bank dalam pelelangan agunan nasabah debiturnya seringkali dibutuhkan untuk penyelamatan  kredit bermasalah yang dihadapi bank.

Oleh karena itu, Otoritas Jasa Keuangan telah menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33/POJK.03/2018 tentang Kualitas Aset Produktif (KAP) dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif (PPAP) Bank Perkreditan Rakyat dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 29/POJK.03/2019 tentang Kualitas Aset Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang mengatur mengenai dimungkinkannya dilakukan tindakan pengambilalihan agunan oleh BPR atau BPR Syariah sebagai upaya untuk menyelesaikan pembiayan atau  kredit macet , baik melalui pelelangan atau diluar pelelangan. Sebelumnya, Bank Indonesia juga sudah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/19/PBI/2006 tentang KAP dan PPAP termasuk AYDA   yang membolehkan BPR ikut serta dalam lelang agunan. Sebagai tambahan, Pasal 40 Undang-undang NO. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah  membolehkan bank Umum Syariah, BPR Syariah dan Unit Usaha Syariah untuk membeli  agunan baik melalui lelang  maupun di luar pelelangan.

Saya berpendapat bahwa tidak adanya aturan yang eksplisit terkait kebolehan BPR mengambil alih agunan dalam Undang-Undang Perbankan semestinya tidak menjadi penghalang. Undang-Undang Perbankan tidak melarang BPR untuk melakukan kegiatan AYDA. Begitupun dari segi praktik, kegiatan AYDA oleh BPR telah lazim dilakukan oleh BPR sejak bertahun-tahun yang lalu.

Dari aspek legalitas, peraturan-peraturan yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia tersebut, yang merupakan bagian dari hirarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, semestinya sudah cukup untuk dijadikan acuan bagi BPR yang berkeinginan untuk mengambil alih agunan dari nasabah debiturnya.

Dari segi kepastian hukum, peraturan-peraturan tersebut telah menjamin kepastian hukum karena telah dibuat berdasarkan kewenangan masing-masing instansi tersebut, tidak memuat substansi yang bertentangan dengan peraturan lain yang lebih tinggi dan justru mengisi kekosongan hukum. Dari segi kemanfaatan, adanya peraturan-peraturan tersebut juga dapat dikatakan telah menjamin kelancaran kegiatan usaha perbankan dan memberikan jalan keluar yang efektif bagi BPR untuk menanggulangi kredit macet.

 

  1. Permasalahan yang diangkat dalam permohonan a quo bukan ranah Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi

Dalam permohonan, Pemohon menyebut bahwa tidak direspon atau ditolaknya permintaan untuk ikut serta sebagai peserta lelang adalah dikarenakan kebijakan yang diambil oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara melalui Surat No. S-407/KN.7/2012 perihal Penegasan terkait pembeli yang akan ditunjuk kemudian oleh Bank Umum selaku kreditur atas obyek agunannya.

Setelah Ahli mempelajari kutipan Surat tersebut, dapat dipahami bahwa Surat yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara tersebut juga tidak terdapat substansi yang secara langsung melarang BPR untuk menjadi peserta lelang. Semestinya Surat tersebut tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk menolak keikut sertaan BPR dalam proses lelang terhadap agunan nasabah debiturnya.

Apabila yang menjadi persoalan adalah penolakan untuk menjadi peserta lelang oleh Kepala KPKNL, dengan alasan Surat yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, maka penolakan tersebut semestinya menjadi ranah sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara, bukan Mahkamah Konstitusi. Peraturan perundang-undangan tidak melarang BPR untuk melakukan kegiatan pengambil alihan agunan, baik melalui proses pelelangan atau diluar pelelangan. Begitupun halnya dengan Surat dari DJKN yang disebut oleh Pemohon, yang ternyata juga tidak melarang kegiatan tersebut. Sebaliknya, telah ada peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang dapat dijadikan acuan bagi BPR dan BPR Syariah untuk menjadi pedoman dalam melakukan pengambil alihan agunan milik nasabah debitur. Apabila dalam praktik justru terjadi penolakan atau pelarangan, maka penolakan atau pelarangan tersebut patut diuji keabsahanya di Pengadilan Tata Usaha Negara.

 

  1. Kesimpulan dan Saran

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut:

  • Undang-Undang Perbankan tidak melarang BPR untuk mengambil alih agunan nasabah debiturnya, sehingga seharusnya BPR diperbolehkan ikut dalam lelang pembelian agunan,
  • Telah ada Peraturan Perundang-Undangan berupa Peraturan Otoritas Jasa Kuangan dan Bank Indonesia yang dapat dijadikan acuan bagi BPR dan pihak berwenang terkait kegiatan pengambilalihan agunan milik nasabah debitur oleh BPR Konvensional atau BPR Syariah. Kebolehan BPR untuk ikut lelang agunan yang sudah berlangsung cukup lama ini, seharusnya diteruskan untuk keadilan dan kepastian hukum.
  • Penolakan terhadap BPR untuk menjadi peserta lelang dalam pelelangan agunan milik nasabah debiturnya menjadi kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menguji keabsahannya

Dari kesimpulan tersebut, perkenankan pula Ahli untuk menyampaikan masukan terkait permasalahan a quo. Fakta bahwa dalam penolakan terhadap BPR untuk menjadi peserta lelang dalam pelelangan agunan nasabah debiturnya perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti oleh pihak-pihak berwenang terkait dengan jalan meningkatkan kordinasi antar lembaga. Hal ini tentunya penting untuk dilakukan untuk menjamin kelancaran kegiatan usaha Bank dalam memberikan kredit dan mencegah timbulnya dampak buruk dari kredit macet atau non-performing loan

 

Demikian keterangan ini saya sampaikan. Semoga dapat membantu Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi dalam menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya.

 

Jakarta, 6 September 2021

 

 

Dr. Yunus Husein, S.H.,LL.M.

 

Tinggalkan Balasan