Jakarta
agus.amin@gmail.com
+6287773379281

KEGIATAN MONEY LAUNDERING

KEGIATAN MONEY LAUNDERING

OLEH :  YUNUS HUSEIN, S.H. LL.M

 

  1. I. Pendahuluan

Money laundering diterjemahkan dengan pemutihan uang atau pencucian uang. Dalam tulisan ini digunakan istilah money laundering atau pencucian uang. Kejahatan pencucian uang atau “money laundering” bertujuan untuk melindungi atau menutupi suatu aktivitas kriminal yang menjadi sumber dari dana atau uang yang akan “dibersihkan”. Aktivitas kriminal dimaksud misalnya perdagangan gelap narkotika (drug trafficking), perdagangan gelap senjata dan pemalsuan uang.[1] Dengan demikian pemicu dari kejahatan pencucian uang sebenarnya adalah suatu tindak pidana atau aktivitas kriminal. Kegiatan ini memungkinkan para pelaku kejahatan untuk menyembunyikan asal-usul sebenarnya dari suatu dana atau uang hasil kejahatan yang dilakukan. Melalui kegiatan ini pula para pelaku akhirnya dapat menikmati dan menggunakan hasil kejahatannya secara bebas seolah-olah tampak sebagai hasil kegiatan yang sah/legal.

Sejalan dengan perkembangan teknologi dan globalisasi di sektor perbankan, dewasa ini bank telah menjadi sasaran utama untuk kegiatan pencucian uang dikarenakan sektor inilah yang banyak menawarkan jasa-jasa dan instrumen dalam lalu lintas keuangan yang dapat digunakan untuk menyembunyikan/menyamarkan asal-usul suatu dana. Dengan adanya globalisasi perbankan, maka melalui sistem perbankan dana hasil kejahatan mengalir atau bergerak melampaui batas yurisdiksi negara dengan memanfaatkan faktor rahasia bank yang umumnya dijunjung tinggi oleh perbankan. Melalui mekanisme ini maka dana hasil kejahatan bergerak dari satu negara ke negara lain yang belum mempunyai sistem hukum yang cukup kuat untuk menanggulangi kegiatan pencucian uang atau bahkan bergerak ke negara yang menerapkan ketentuan rahasia bank secara sangat ketat.[2] Berdasarkan statistik IMF, hasil kejahatan yang di”cuci” melalui bank-bank diperkirakan hampir mencapai nilai USD 1.500 miliar per tahun.3 Sementara itu menurut Mantan Managing Director IMF, Michel Camdessus diperkirakan kegiatan pencucian uang mampu menyerap nilai USD 600 miliar per tahun, yang berarti sama dengan 2 % s.d. 5% GDP di seluruh dunia (The National Money Laundering Strategy For 2000, The Department of The Treasury and Department of Justice, USA).

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka permasalahan yang akan ditinjau dalam makalah ini adalah bagaimana dan sampai di mana langkah-Iangkah pencegahan dan penanggulangan pencucian uang oleh Pemerintah RI dan Bank Indonesia?

Dalam melihat apakah suatu negara sudah mengambillangkah-Iangkah yang cukup, Financial Action Task Force on Money Laundering suatu forum kerjasama antara negaranegara maju untuk memberantas money laundering menggunakan beberapa kriteria, yaitu[3]:

  1. Adanya loopholes di dalam peraturan industri jasa keuangan, seperti terlihat pada:
    1. Kurang memadainya pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan.
    2. Kurang memadainya peraturan tentang perizinan dan pendirian lembaga keuangan, termasuk mengenai penilaian mengenai latar belakang pengurus dan beneficial owner.
    3. Kurang memadainya persyaratan identifikasi nasabah lembaga keuangan.
    4. Ketentuan rahasia bank yang berlebihan.
    5. Tidak adanya sistem pelaporan transaksi yang mencurigakan yang efisien.
  2. Hambatan dari peraturan perundang-undangan lain, seperti :
    1. Kurang memadainya persyaratan untuk pendaftaran perusahaan dan badan hukum.
    2. Tidak adanya aturan tentang identifikasi beneficial owner dari perusahaan.
  3. Hambatan di dalam kerjasama internasional baik hambatan oleh eksekutif maupun yudikatif.
  4. Tidak memadainya sumber daya untuk mencegah dan mengetahui kegiatan money laundering, misalnya tidak adanya financial intelligent unit.

Tulisan ini membahas langkah-Iangkah terutama pengaturan yang sudah dilakukan Pemerintah termasuk Bank Indonesia untuk mencegah dan menanggulangi money laundering yang dilakukan melalui perbankan baik langsung maupun tidak langsung. Tulisan ini juga akan sedikit menyentuh pembahasan kegiatan pencucian uang melalui pasar modal.

 

  1. Pencucian Uang
  2. Pengertian

Istilah money laundering telah dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat. Pada saat itu kejahatan ini dilakukan oleh organisasi kejahatan “mafia” melalui pembelian perusahaanperusahaan pencucian pakaian (laundry) yang kemudian digunakan oleh organisasi tersebut sebagai tempat pemutihan uang yang dihasilkan dari bisnis ilegal seperti perjudian, pelacuran, dan perdagangan minum keras.

Dalam Black’s Law Dictionary, money laundering diartikan sbb.:

Term used to describe investment or other transfer of money flowing from racketeering, drug transactions, and other illegal sources into legitimate channels so that its original source cannot be traced.

Dalam perkembangan berikutnya pengertian money laundering dimuat dalam berbagai literatur maupun peraturan yang diberlakukan oleh beberapa negara dan organisasi internasional. Salah satu pengertian yang menjadi acuan di seluruh dunia adalah pengertian yang dimuat dalam the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and

Psycotropic Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi di Indonesia dengan UU No.7 Tahun 1997. Secara lengkap pengertian money laundering terse but adalah :

The convertion or transfer of property, knowing that such property is derived from any serious (indictable) offence or offences, or from act of participation in such offence or offences, for the purpose of concealing or disguising the illicit of the property or of assisting any person who is involved in the commission of such an offence or offences to evade the legal consequences of his action; or The concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition, movement, rights with respect to, or ownership of property, knowing that such property is derived from a serious (indictable) offence or offences or from an act of participation in such an offence or offences.”

Secara umum, money laundering merupakan metode untuk menyembunyikan, memindahkan, dan menggunakan hasil dari suatu tindak pidana, kegiatan organisasi kejahatan, kejahatan ekonomi, korupsi, perdagangan narkotika dan kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan aktivitas kejahatan.[4]

Melihat pada definisi di atas, maka money laundering atau pencucian uang pada intinya melibatkan aset (pendapatan/kekayaan) yang disamarkan sehingga dapat digunakan tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang ilegal. Melalui money laundering pendapatan atau kekayaan yang berasal dari kegiatan yang melawan hukum diubah menjadi aset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal.

 

  1. Mekanisme Kejahatan Pencucian Uang

Kegiatan pencucian uang melibatkan aktivitas yang sangat kompleks. Pada dasarnya kegiatan tersebut terdiri dari tiga langkah yang masing-masing berdiri sendiri tetapi seringkali dilakukan bersama-sama yaitu placement, layering, dan integration.[5]

Placement diartikan sebagai upaya untuk menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan. Dalam hal in terdapat pergerakan fisik dari uang tunai baik melalui penyelundupan uang tunai dari satu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan penempatan uang giral ke dalam sistem perbankan misalnya deposito bank, cek atau melalui real estate atau saham-saham atau juga mengkonversikan ke dalam mata uang lainnya atau transfer uang ke dalam valuta asing.

Layering diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana “haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.

Adapun integration yaitu upaya. untuk menetapkan suatu landasan sebagai “legitimate explanation” bagi hasil kejahatan.[6] Disini uang yang diputihkan melalui placement maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang diputihkan. Pada tahap ini uang yang telah diputihkan dimasukan kembali ke dalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum.

Untuk mengetahui lebih jauh metode yang digunakan dalam pencucian uang, dapat pula dikutip lithe money laundering methods’’[7] sebagaimana dimuat dalam salah satu artikel untuk pelatihan dalam Investigation Training Institute yang menyatakan bahwa secara umum pencucian uang melibatkan 3 (tiga) metode yang bertujuan untuk manipulasi dan mengubah status dana ilegal menjadi dana legal. Ketiga metode tersebut adalah :

  • schemes to buy and sell assets, goods or services;
  • offshore conversion schemes; and
  • legitimate business conversion schemes.

Metode buy and sell conversions dilakukan melalui jual beli barang-barang dan jasa. Sebagai contoh, real estate atau aset lainnya dapat dibeli dan dijual kepada coconspirator yang menyetujui untuk membeli/menjual dengan harga yang lebih tinggi daripada harga yang sebenarnya dengan tujuan untuk memperoleh fees atau discount. Kelebihan harga dibayar dengan menggunakan uang i1egal dan kemudian dicuci melalui transaksi bisnis. Dengan cara ini setiap aset, barang-barang atau jasa dapat diubah seolah-seolah menjadi hasil yang legal melalui rekening pribadi atau perusahaan yang ada di suatu bank.

Dalam metode offshore conversions dana i1egal dialihkan ke wilayah yang merupakan tax haven money laundering centers dan kemudian disimpan di bank atau lembaga keuangan yang ada di wilayah tersebut. Dana tersebut lalu digunakan antara lain untuk membeli aset dan investasi (fund investments). Di wilayah atau negara yang merupakan tax heaven terdapat kecenderungan hukum perpajakan yang lebih longgar, ketentuan rahasia bank yang cukup ketat dan prosedur bisnis yang sangat mudah sehingga memungkinkan adanya perlindungan bagi kerahasiaan suatu transaksi bisnis, pembentukan dan kegiatan usaha trust

fund maupun badan usaha lainnya. Kerahasiaan inilah yang memberikan ruang gerak yang leluasa bagi pergerakan dana melalui berbagai pusat keuangan di dunia. Oalam hal ini para pengacara, akuntan, dan pengelola dana biasanya sangat berperan dalam metode offshore

conversions dengan memanfaatkan celah yang ditawarkan oleh ketentuan rahasia bank dan rahasia perusahaan.

Metode yang ketiga yaitu legitimate business conversions dipraktekkan melalui bisnis atau kegiatan usaha yang sah sebagai sarana untuk memindahkan dan memanfaatkan hasil kejahatan. Oalam hal ini hasil kejahatan dikonversikan melalui transfer, cek, atau instrumen pembayaran lainnya yang kemudian disimpan di rekening bank atau ditarik atau ditransfer lebih lanjut ke rekening bank lainnya. Metode ini memungkinkan pelaku kejahatan menjalankan usaha atau bekerjasama dengan mitra bisnisnya dan menggunakan rekening perusahaan yang bersangkutan sebagai tempat penampungan untuk hasil kejahatan yang dilakukan.

Berdasarkan uraian di atas, maka setiap transaksi yang dilakukan oleh individual/pribadi atau perusahaan, setiap bentuk kegiatan usaha maupun rekening yang terdapat di bank-bank dapat digunakan sebagai sarana untuk melancarkan kegiatan pencucian uang.

 

III.       Pencegahan dan Penanggulangan Pencucian Uang

Pemberantasan kegiatan money laundering (pencucian uang) dapat dilakukan melalui pendekatan pidana atau pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan dan tindakan administratif. Partisipasi Pemerintah RI dalam upaya pemberantasan kegiatan pencucian uang merupakan pelaksanaan dari amanat PBB dalam the UN Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah melalui UU No.7 Tahun 1997. Dengan penandatanganan konvensi tersebut maka setiap negara penandatangan diharuskan untuk menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai suatu tindak kejahatan dan mengambil langkah-Iangkah agar pihak yang berwajib dapat mengidentifikasikan, melacak dan membekukan atau menyita hasil perdagangan obat bius. Oi bawah ini adalah beberapa langkah yang telah diambil oleh Pemerintah RI untuk menindaklanjuti komitmen pemberantasan kegiatan pencucian uang.

 

  1. Undang-undang Yang Berkaitan dengan Psikotropika

Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan psikotropika, antara lain UU No. 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971, UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Di samping itu terdapat beberapa Peraturan Menteri Kesehatan tahun 1997 tentang Peredaran Psikotropika dan Ekspor Impor Psikotropika. UU Psikotropika bertujuan untuk memberantas dan mencegah terjadinya peredaran gelap psikotropika. Oalam UU ini diatur antara lain mengenai persyaratan dan tata cara ekspor dan impor peredaran serta penyaluran psikotropika agar hal-hal tersebut tidak digunakan sebagai sarana kegiatan pencucian uang.

 

  1. Undang-undang Yang Berkaitan dengan Narkotika

Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan narkotika, antara lain UU No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya, UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang menggantikan UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. UU Narkotika ini mengatur masalah narkotika yang dibutuhkan sebagai obat dan sekaligus mencegah dan memberantas bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Oalam Pasal 77 ayat (1) UU NO. 22 Tahun 1997 disebutkan, bahwa narkotika dan peralatan yang dipergunakan dalam pelangaran narkotika dan hasil-hasilnya dapat disita untuk negara.

 

  1. UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Pasal 31 ayat (1) mengatur sebagai berikut :

Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan.

Penjelasan atas ayat (1) tersebut menguraikan bahwa yang dimaksud dengan transaksi tertentu antara lain adalah transaksi dalam jumlah besar yang diduga berasal dari kegiatan melanggar hukum. Dalam pengertian ini tentunya termasuk pula kegiatan pencucian uang.

 

  1. UU No.24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar

Sebagaimana diketahui, kegiatan pencucian uang dapat dilakukan melalui pergerakan dana dalam transaksi internasional. UU NO.24/1999, secara tidak langsung memberikan landasan untuk memantau kegiatan ini. Pasal 3 ayat (2), misalnya, mengatur sebagai berikut :

Setiap penduduk wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan lalu Iintas devisa yang dilakukannya, secara langsung atau melalui pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Keterangan dan data yang diminta antara lain meliputi nilai dan jenis transaksi, tujuan atau maksud transaksi, pelaku transaksi, dan negara tujuan atau asal pelaku transaksi.

 

  1. Rancangan Undang-undang ten tang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Banyak negara di Asia Pasifik yang sudah mempunyai undang-undang pemberantasan money laundering, seperti Singapura, Malaysia, dan Australia. Sementara itu, negara-negara Asia Pasifik yang baru memiliki Rancangan Undang Undang (RUU) Anti Money laundering, adalah Bangladesh, Kiribati, Nepal, Filipina, Tonga, India, Marshall Islands, Niue, Solomon Islands, Tuvalu, Nauru, Palau, Sri Lanka, Vietnam, Brunei Darussalam, Kamboja, Korea dan Indonesia ( Asia Pacific Group on Money Laundering Secretariat, Draft Outline of Anti Money Laundering Laws Passed or Under Consideration in the Asia Pacific Region, May 2001). Sebagai bagian dari komitmen Pemerintah RI untuk berpartsipasi dalam upaya pemberantasan kegiatan pencucian uang, Pemerintah telah mempersiapkan RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di bawah koordinasi Departemen Kehakiman dan HAM. RUU ini juga disusun sebagai jawaban atas dugaan dan kekhawatiran masyarakat internasional yang selama ini menganggap Indonesia sebagai sasaran empuk untuk kegiatan pencucian uang karena tidak atau belum mempunyai ketentuan yang secara formal dan tegas menyatakan bahwa kegiatan pencucian uang merupakan suatu tindak pidana.

Adapun pokok-pokok yang diatur dalam RUU dimaksud antara lain adalah sebagai berikut :

  1. Pengertian dan cakupan tindak pidana pencucian uang, dan tindak pidana yang merupakan sumber pencucian uang (predicate crime), yaitu tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan, tindak pidana yang berkaitan dengan perbankan, narkotika, psikotropika, perdagangan budak, wanita, dan anak, perjudian, atau terorisme.
  2. Pengenaan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan pencucian uang.
  3. Kewajiban pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan atau transaksi keuangan yang berjumlah paling sedikit Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) dengan ancaman sanksi pidana dan denda untuk kesengajaan tidak melaporkan.
  4. Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang(KPTPPU) yang mempunyai tugas melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
  5. Kewajiban penyampaian identitas secara lengkap dan benar bagi nasabah deposan di bank termasuk nasabah reksa dana dan perusahaan efek.
  6. Perlindungan hukum bagi pelapor dan saksi.
  7. Kerjasama internasional dalam rangka penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana pencucian uang.

RUU tersebut sejak awal tahun 2001 sudah diserahkan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan saat ini masih dalam pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat. Rencananya RUU ini akan dibahas secara fast track.

Tampaknya RUU tersebut masih memerlukan penyempurnaan, seperti tidak dimasukkannya penyelundupan senjata dan pemalsuan uang sebagai tindak pidana yang merupakan hasil pencucian uang; mengenai batasan tindak pidana di bidang perbankan; usulan untuk mEmgubah nilai dan mencantumkan pengaturan periode atas transaksi yang wajib dilaporkan oleh lembaga keuangan termasuk bank; usulan jenis perlindungan bagi pelapor dan saksi yang mencakup civil dan criminal liabilities; serta transaksi-traksaksi perbankan yang dikecualikan dalam pelaporan kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Sebelumnya Pemerintah Indonesia sudah mengantisipasi masalah money laundering ini dengan mencantumkannya pada Pasal 610 dan 611 Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP).

Pasal 610 RUU KUHP berbunyi: Barangsiapa menyimpan uang di bank atau di tempat lain, mentransfer, menitipkan, memindahkan, menginvestasikan, membayar uang atau kertas bernilai uang, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, diperoleh dari perdagangan narkotika yang tidak sah atau tindak pidana ekonomi atau tindak pidana korupsi, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun dan denda paling banyak kategori V.

Selanjutnya Pasal 611 RUU KUHP berbunyi: Barangsiapa menerima untuk disimpan atau sebagai titipan, menerima transfer, menerima hibah modal investasi, menerima sebagai pembayaran uang atau kertas bernilai uang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, diperoleh dari perdagangan narkotika yang tidak sah atau tindak pidana ekonomi atau tindak pidana korupsi, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak kategori V.

Mengingat RUU KUHP ini belum diajukan ke DPR, dalam pembahasannya DPR menggunakan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang sudah diserahkan oleh Pemerintah ke DPR sejak bulan Februari 2001.

Selain peraturan perundang-undangan tersebut masih ada lagi peraturan perundangundangan lain yang baik langsung maupun tidak langsung mempunyai dampak terhadap pencegahan dan pemberantasan money laundering, seperti Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU NO.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang dalam Pasal 36 (a) menyatakan, bahwa perusahaan sekuritas dan penasehat investasi wajib mengetahui latar belakang, keadaan keuangan dan tujuan investasi dari nasabahnya.

 

  1. Ketentuan Bank Indonesia

Terdapat beberapa ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung dapat mencegah, mengurangi atau memberantas kegiatan

money laundering secara administratif, antara lain

  • Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.30/271A/KEP/DIR tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.30/191A/KEP/DIR tentang Pengeluaran atau Pemasukan Mata Uang Rupiah Dari Atau Ke Dalam Wi/ayah Republik Indonesia

Berdasarkan ketentuan SK Dir.BI ini setiap orang yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam wilayah RI dengan jumlah lebih dari Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) wajib mengisi formulir deklarasi. Selain itu bagi setiap orang yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam wilayah RI dengan jumlah lebih dari Rp.10.000.000,(sepuluh juta rupiah) selain wajib mengisi formulir deklarasi juga harus memperoleh izin dari Bank Indonesia.

  • Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/50/KEP/DIR tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembelian Saham Bank Umum

Pasal 6 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang digunakan untuk pembelian saham bank dalam rangka kepemilikan dilarang berasal dari dan untuk tujuan money laundering.

  • PBI No.2/27/PBI/2000 tentang Bank Umum

Pasal 6 ayat (1) huruf j dari PSI ini mengatur bahwa dalam rangka permohonan izin pendirian bank umum, calon pemegang saham bank wajib melampirkan surat pern’yataan bahwa setoran modal bank tidak berasal dari dan untuk tujuan money laundering. Selanjutnya Pasal 14 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan bank atau pembelian saham bank dilarang berasal dari dan untuk tujuan pemutihan uang.

  • PBI No.1/6/PBI/1999 ten tang Penugasan Direktur Kepatuhan (Compliance

Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum

PBI ini bertujuan untuk memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini bank diwajibkan untuk menugaskan salah satu anggota direksinya sebagai Compliance Director yang memastikan bahwa bank telah memenuhi ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundangan-undangan yang berlaku untuk perbankan. Bank juga diwajibkan untuk membentuk Satuan Kerja Audit Intern yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kegiatan bank secara kesleuruhan.

  • PBI No.1/9/PBI/1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank beserta peraturan pelaksanaannya SE

No.1/9/DSM tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa o/eh Bank

Berdasarkan ketentuan ini bank wajib melaporkan data/keterangan yang meliputi antara lain:

~ Laporan transaksi, yaitu laporan mengenai transaksi yang mempengaruhi posisi aset dan kewajiban finansial luar negeri bank pelapor.

~ Untuk transaksi di atas USD 10,000 atau ekuivalennya wajib dilaporkan secara terinci yang mencakup keterangan mengenai pelaku dan hubungan keuangan antar pelaku transaksi serta tujuan transaksi. Laporan posisi, yaitu laporan mengenai posisi aset dan kewajiban finansialluar negeri bank pelapor yang mencakup seluruh tagihan dan kewajiban kepada bukan penduduk baik yang berada di dalam negeri maupun luar negeri.

f.6.  Surat Edaran Bank Indonesia No.2/10/DASP tentang Tata Usaha Penarikan

Cek/Bilyet Giro Kosong

Dalam SE ini diatur persyaratan dan tata cara pembukaan rekening yang meliputi antara lain:

~ Calon pemilik rekening yang akan membuka rekening harus mengajukan permohonan tertulis kepada bank dengan melampirkan data yang sekurang-kurangnya meliputi tanda bukti diri (KTP, S1M, atau pasport); NPWP bagi nasabah yang diwajibkan mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud dalam SK Menteri Keuangan RI No.947/KMK.04/1983; akte pendirian/anggaran dasar bagi perusahaan yang bentuk hukumnya diatur dalam KUHD dan atau undangundang/Peraturan Pemerintah lainnya.

~         Calon pemilik rekening tidak tercantum dalam daftar hitam yang masih berlaku.

~          Bank melakukan penelitian kelengkapan identitas calon pemilik rekening.

f.7. PBI No.3/3/PBI/2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian

Kredit Valas oleh Bank

Dalam ketentuan ini diatur larangan dan pembatasan transaksi-transaksi tertentu oleh bank terhadap WNA, badan hukum asing lainnya, WNI yang memiliki status penduduk tetap negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, perwakilan negara asing dan lembaga internasional di Indonesia, kantor bank/badan hukum Indonesia di luar negeri. Ketentuan ini sekurangkurangnya dapat menjadi sarana yang kondusif untuk mencegah terjadinya transaksi yang berkaitan dengan kegiatan pencucian uang.

f.8. Peraturan Bank Indonesia No. 2/23/PBI/2000 tentang Penilaian Kemampuan dan

Kepatutan (Fit and Proper Test)

Ketentuan ini dikeluarkan tanggal 6 November 2000 sebagai pengganti ketentuan yang lama PBI No.2/1/PBI/2000 tanggal14 Januari 2000. Dalam rangka penilaian kemampuan dan kepatutan ini, dilakukan pemeriksaan dan penelitian track record dari pemegang saham Clan pengurus bank, sehingga diperoleh bukti-bukti yang konkrit. Penelitian fit and proper tersebut merupakan suatu evaluasi terhadap kompetensi dan integritas pemegang saham pengendali serta kompetensi dan integritas dan independensi Dewan Komisaris dan Direksi dalam mengendalikan operasional bank.

f.9. Peraturan Bank Indonesia No. 3/1 O/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip

Mengenal Nasabah (Know Your Customers Principles)

PSI tentang Know Your Customer dikeluarkan tanggal 18 Juni 2001 ini disusun dalam rangka mengisi kekosongan peraturan selama RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang masih dalam tahap pembahasan di DPR. PSI ini disamping untuk memenuhi prinsip kelima belas dari dua puluh lima Core Principle for Effective Banking Supervision juga dimaksudkan untuk memenuhi rekomendasi FATF. Diharapkan dengan adanya PSI ini FA TF dapat melihat wujud keseriusan Pemerintah RI khususnya sektor perbankan Indonesia untuk berpartisipasi dalam komitmen internasional memerangi kegiatan pencucian uang. Disamping itu awalnya PSI ini disusun juga untuk dapat menyelamatkan RI dari pengkategorian sebagai Non Cooperative Countries and Territories (NCCTs) dalam pencegahan kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh FA TF. Namun mengingat Indonesia memenuhi beberapa kriteria dari 25 kriteria pengkategorian NCCTs, termasuk belum adanya UU tentang pemberantasan tindak pidana pencucian uang, maka pada tanggal 22 Juni 2001 Indonesia dinyatakan sebagai NCCTs. Prinsip KYC adalah prinsip yang diterapkan oleh bank untuk mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan.

Sesuai Rekomendasi FA TF, Prinsip KYC merupakan sarana yang paling efektif bagi perbankan untuk menanggulangi kegiatan pencucian uang melalui perbankan. Prinsip KYC yang kurang. sempurna dapat mengakibatkan bank-bank harus berhadapan dengan risiko perbankan yang terkait dengan penilafan masyarakat, nasabah atau mitra transaksi bank terhadap bank yang bersangkutan, yaitu risiko reputasi, risiko operasional, risiko hukum, dan risiko konsentrasi.

Risiko reputasi berhubungan dengan hal-hal yang berpotensi mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap praktek-praktek yang dijalankan oleh suatu bank yang dapat mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap integritas bank yang bersangkutan. Dalam hal ini bank sang at rentan terhadap risiko reputasi karena ia merupakan target atau sarana utama bagi aktivitas kejahatan yang dapat dilakukan oleh nasabah.

Risiko operasional merupakan risiko kerugian yang secara langsung atau tidak langsung bersumber dari internal atau eksternal bank. Dalam konteks KYC, risiko ini berhubungan dengan penerapan operasional perbankan, pengawasan internal, dan due diligence yang kurang memadai.

Risiko hukum berkaitan dengan kemungkinan bank menjadi target pengenaan sanksi karena tidak mematuhi standar KYC dan gagal melaksanakan due

diligence yang diperlukan terhadap nasabah. Dalam hal ini, bank dapat dikenakan denda atau sanksi lainnya oleh otoritas pengawas bank atau bahkan dikenakan pertanggungjawaban pidana oleh pihak yang berwajib. Penyelesaian masalah melalui pengadilan dapat menimbulkan implikasi biaya yang sangat besar bagi bank sehingga mempengaruhi bisnis perbankan yang bersangkutan.

Risiko konsentrasi terkait dengan sisi aktiva dan pasiva bank. Sebagaimana diketahui, dalam praktek pengawasan, pengawas bank tidak hanya berkepentingan dengan sistem informasi untuk mengidentifikasi konsetrasi kredit yang dijalankan oleh bank, tetapi juga penerapan prinsip kehati-hatian oleh bank dalam menyalurkan kredit terhadap seorang atau group kreditur. T anpa mengenal identitas nasabah secara pasti dan memahami hubungan antara nasabah yang satu dan nasabah-nasabah lainnya, sulit bagi bank untuk mengatapi risiko konsentrasi dimaksud. Sementara itu di sisi pasiva, risiko konsentrasi berhubungan dengan risiko dana khususnya dalam hal terjadi penarikan secara tiba-tiba dalam jumlah besar oleh nasabah yang berakibat pada likuiditas bank yang bersangkutan. Untuk ini bank perlu melakukan analisa terhadap adanya konsentrasi simpanan, memahami karakteristik simpanan termasuk identitas deposan dan hal-hal apa saja yang dapat menghubungkan deposan tersebut dengan. simpanan deposan lainnya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Prinsip KYC pada dasarnya bertujuan untuk :

  1. membantu bank agar dapat mendeteksi sesegera mung kin setiap aktivitas yang mencurigakan yang dilakukan nasabah;
  2. memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan perbankan yang berlaku;
  3. menegakkan prinsip kehati-hatian dalam praktek perbankan;
  4. mengurangi risiko dimanfaatkannya bank sebagai sarana untuk melakukan aktivitas kejahatan; e. melindungi reputasi bank.

Pokok-pokok yang diatur dalam PSI ini sebagian besar mengakomodir butirbutir rekomendasi dari Basel Committee on Banking Supervision dalam Core Principles For Effective Banking Supervision bahwa penerapan Prinsip Mengenal Nasabah merupakan faktor yang penting dalam melindungi kesehatan bank, serta memperhatikan pula rekomendasi FATF bahwa prinsip dimaksud merupakan upaya untuk mencegah industri perbankan digunakan sebagai sarana maupun sasaran kejahatan money laundering.

Adapun materi muatan yang diatur dalam PBI ini, al mencakup:

~ Kewajiban bank untuk memiliki kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah, identifikasi Nasabah, pemantauan terhadap rekening dan transaksi Nasabah, serta manajemen risiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Kewajiban ini termasuk pula apabila calon nasabah bertindak sebagai beneficial owner.

~ Pembentukan unit kerja khusus atau penunjukkan pejabat bank yang bertanggung jawab atas penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.

~ Larangan bank untuk melakukan hubungan usaha dengan calon nasabah yang tidak memenuhi ketentuan mengenai kebijakan penerimaan dan identifikasi nasabah.

~ Kewajiban bank menatausahakan dokumen mengenai identifikasi nasabah dalam jangka waktu 5 tahun sejak nasabah menutup rekening dibank, serta melakukan pengkinian data.

 

~ Kewajiban bank memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan nasabah.

~          Kewajiban bank untuk memelihara profil nasabah.

~ Kewajiban bank untuk melaporkan transaksi yang mencurigakan kepada Bank Indonesia kepada BI selambat-Iambatnya 7 hari kerja setelah diketahui oleh bank.

~         Penerapan Prinsip Pengenalan Nasabah pada kantor bank di luar negeri bagi bank yang berbadan hukum Indonesia.

~ Pengecualian PBI ini bagi walk in customer (nasabah yang tidak mempunyai rekening di bank) sepanjang nilai transaksi yang dilakukan tidak melebihi Rp. 100.000.000,00 atau nilai yang setara dengan itu.

~ Pengenaan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 ayat 2 UU Perbankan bagi bank yang melanggar PBI ini.

  1. Kerjasama dan Rekomendasi Internasional

Oalam rangka kerjasama internasional kiranya dapat disebut Pasal 57 Undangundang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyatakan, bahwa Bank Indonesia dapat melakukan kerjasama dengan bank sentrallainnya, organisasi dan lembaga internasional. Kerjasama ini dapat meliputi kerjasama berupa tukar menukar informasi yang terkait dengan tugas bank sentral, termasuk dalam bidang pengawasan bank. Oalam kaitan dengan kerjasama ini juga dapat disebutkan, bahwa terdapat UU No. 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi yang memungkinkan adanya kerjasama internasional. Republik Indonesia sudah menandatangani b~eberapa perjanjian ekstradisi dengan Filipina, Malaysia, Thailand, Australia dan Hong Kong. Kerjasama dengan Australia dan Hong Kong sudah meliputi juga money laundering, walaupun

money laundering belum dinyatakan sebagai tindak pidana.

Di samping itu dapat dikemukakan, bahwa Sejak Juni 2000 Indonesia telah diterima menjadi anggota Asia Pacific Group on Money Laundering, suatu forum kerjasama untuk pemberantasan money laundering di kawasan Asia Pasifik yang didirikan pada Februari 1997. Sejak Mei 2001 keanggotaan APG sudah meliputi 22 negara di Asia Pasifik.

Dewasa ini otoritas pengawas perbankan di seluruh dunia semakin menyadari pentingnya upaya-upaya untuk menetapkan landasan/pedoman bagi bank-bank yang ada di bawah pengawasan mereka agar memiliki sistem dan prosedur pengawasan yang memadai untuk mencegah agar bank tidak digunakan sebagai sarana kejahatan. Dalam hal ini due diligence terhadap calon nasabah maupun nasabah yang telah ada merupakan kunci sistem dan prosedur pengawasan dimaksud.

Berkenaan dengan hal tersebut, rekomendasi yang dikeluarkan oleh the Basel Committee on Banking Supervision merupakan salah satu acuan yang digunakan oleh perbankan dalam membentuk sistem dan prosedur pengawasan dimaksud. Pedoman yang dikeluarkan oleh Basel Committee mengenai customer due diligence and anti-

money laundering efforts terbagi dalam 3 (tiga) papers.

Paper pertama adalah the Prevention of Criminal Use of the Banking System for the Purpose of Money Laundering, diterbitkan pada tahun 1988 dan menetapkan beberapa prinsip dasar bagi perbankan yang pada intinya menganjurkan bank-bank agar senantiasa melakukan identifikasi terhadap para nasabahnya, menolak setiap transaksi yang mencurigakan dan menjalin kerja sam a dengan pihak yang berwajib untuk menanggulangi kegiatan pencucian uang.

Paper kedua yaitu the 1997 Core Principles for Effective Banking Supervision, menetapkan antara lain bahwa sebagai bagian dari pengawasan internal, bank-bank flarus menerapkan kebijakan, praktek dan prosedur yang dapat mendorong terbentuknya standar etika dan profesional yang cukup tinggi bagi sektor perbankan serta mencegah pemanfaatan bank sebagai saran a kejahatan. Selain itu paper ini juga mendorong bank-bank agar mengikuti Rekomendasi Financial Action Task Force on Money Laundering (FA TF) khususnya yang berkaitan dengan identifikasi nasabah, pemeliharaan catatan/dokumen, pelaporan transaksi yang mencurigakan dan upayaupaya terhadap negara-negara yang belum memiliki ketentuan anti money laundering yang memadai.

Paper ketiga yaitu the 1999 Core Principles Methodology yang menjadi elaborasi lebih lanjut dari the Core Principles dengan menetapkan kriteria-kriteria tertentu.

Disamping itu terdapat pula rekomendasi internasional dari FATF yang perlu mendapat perhatian dad law enforcement, financial dan banking institution di Indonesia. FA TF dibentuk pada tahun 1989 oleh negara-negara yang tergabung dalam the Group of Seven (87) sebagai upaya perlawanan terhadap kegiatan pencucian uang. FA TF kini beranggotakan sebanyak 29 negara dan terus berupaya agar negara-negara lainnya yang belum bergabung sebagai anggota turut berpartisipasi menjadikan Rekomendasi FATF sebagai pedoman untuk memerangi kejahatan pencucian uang.

Adapun rekomendasi yang ditetapkan oleh FATF terdiri dari 40 (empat puluh) prinsip yang meliputi penegakan hukum, pengaturan sistem keuangan/perbankan, dan kerja sama internasional. Keempat puluh prinsip tersebut selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan “the Forty Recommendations”. Dari keempat puluh rekomendasi tersebut, rekomendasi yang berlaku bagi lembaga keuangan baik bank maupun non bank adalah rekomendasi 10 sampai dengan rekomendasi 29.

Rekomendasi FATF pada intinya menganjurkan lembaga-Iembaga keuangan baik bank maupun non bank agar berupaya mengenal nasabahnya dan mengetahui sumber dana yang disimpan atau digunakan oleh nasabah. Rekomedasi inilah ya!lg menjadi landasan bagi Prinsip Know Your Customer atau Prinsip Pengenalan Nasabah.

Pada bagian ini dapat pula dikemukakan bahwa beberapa butir dari the Forty Recommendations ternyata belum dapat diterapkan sepenuhnya di Indonesia, antara lain:

  1. Rekomendasi ke-15 mengenai kewajiban bank untuk melaporkan kepada pihak yang berwenang mengenai adanya dana yang bersumber dari aktivitas kejahatan. Rekomendasi ini terbentur pada ketentuan rahasia bank yang diatur dalam UU NO.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No.10 Tahun 1998.
  2. Rekomendasi ke-16 mengenai perlindungan hukum bagi bank dalam hal melaporkan adanya dana yang bersumber dari aktivitas kejahatan. Hal ini telah diatur dalam RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian l.)ang. Namun demikian, selama RUU tersebut belum berlaku sebagai UU yang sah, maka perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam rekomendasi ke-16 tersebut belum bisa diterapkan di Indonesia.

Masih adanya kendala bagi perbankan Indonesia untuk menerapkan Rekomendasi FA TF termasuknya belum adanya ketentuan yang secara tegas menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai tindak pidana menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan oleh negara-negara anggota FATF untuk mengidentifikasikan Indonesia sebagai salah satu negara yang tidak dapat bekerja sama dalam rangka pencegahan kegiatan pencucian uang (Non Cooperative Countries and

Territories/NCCTs). Sebagaimana telah dikemukakan di atas pada tanggal 22 Juni FA TF telah memutuskan Indonesia sebagai NCCTs. Dampak pengkategorian Indonesia sebagai NCCTs, al adalah:

  1. Memperingatkan multilateral corporations untuk menghindari melakukan bisnis dengan negara Indonesia;
  2. Memperingatkan bank-bank untuk memperoleh informasi secara detail sebelum melakukan transaksi dengan penduduk atau perusahaan dari negara Indonesia;
  3. Mempersulit bank-bank umum dari Indonesia untuk beroperasi di luar negeri. Diharapkan setelah disahkannya RUU Money Laundering menjadi UU, tahun depan Indonesia dapat dibebaskan dari pengkategorian NCCTs dimaksud.

 

  1. Kegiatan Pencucian Uang Melalui Pasar Modal

Pelaku money laundering tidak hanya memanfaatkan perbankan dalam hal melakukan pencucian uang, namun juga memanfatkan lembaga keuangan lain, misalnya pasar modal. Sebagaimana telah diuraikan di atas terdapat 3 mekanisme kegiatan pencucian uang yaitu placement, layering dan integration yang biasa dipergunakan oleh para money launderer. Khusus untuk kegiatan pencucian uang yang mempergunakan sarana atau sasaran pasar modal maka pelaku money laundering biasanya melakukan melalui mekanise placement, misalnya dengan membeli surat-surat berharga, saham, efek dsb. Selanjutnya uang hasil kejahatan yang telah dicuci tersebut dipergunakan untuk kegiatan yang halal, misalnya dipergunakan untuk investasi pada suatu perusahaan yang telah go public.

Sebagaimana diketahui pada tanggal 22 Juni 2001 FATF telah memutuskan Indonesia masuk dalam list NCCTs. Latar belakang dimasukkannya Indonesia dalam list dimaksud selain sebagaimana telah diuraikan di atas, terdapat beberapa pertimbangan, al, yang terkait dengan ketentuan di bidang asuransi dan pasar modal. Khusus pasar modal pertimbangan dimaksud, antara lain adalah :

  1. tidak adanya guideline yang dikeluarkan oleh BAPEPAM yang secara khusus mengatur policy, prosedur dan pengawasan untuk mencegah money laundering.
  2. UU tentang Pasar Modal No. 8 tahun 1995 tidak secara jelas mengecualikan keterbukaan informasi terhadap kegiatan yang dicurigai money laundering dari larangan pemberian informasi mengenai nama atau kegiatan nasabah (secrecy

provision) sebagaimana diatur dalam ketentuan dimaksud.

  1. UU tentang Pasar Modal belum mengatur persyaratan fit and proper test bagi direktur, pemegang saham dan senior manager dari kegiatan pasar modal.

Dapat diinformasikan bahwa beberapa ketentuan mengenai money laundering di negara maju telah mengakomodir kemungkinan digunakannya pasar modal sebagai sasaran atau sarana kegiatan pencucian uang. Sebagai contoh dalam 18 USC Section 1956 Amerika Serikat mengatur cakupan transaksi pencucian atas instrumen moneter, ai, jual beli saham, bond, sertifikat dsb. Sedangkan cakupan monetary. instrument, ai, investment securities atau ‘negotiable instrument. Begitupula dengan Australia yang memiliki The Financial Transaction Reports Act 1988 yang mengharuskan cash dealers, misalnya bank, perusahaan asuransi dan perusahaan sekuritas, untuk melaporkan informasi tertentu kepada the Australian Transaction Reports and Analysis seperti melapor transfer transaksi AUD 10.000 atau lebih dan transaksi yang mencurigakan.

Sebagaimana telah diuraikan di atas FATF on Mone( Laundering telah mengeluarkan 40 recommendations. Rekomendasi dimaksud khususnya rekomendasi nomor 10 sampai dengan 29 sebenarnya berlaku tidak hanya untuk bank namun juga lembaga keuangan non bank. Rekomendasi dimaksud mencakup antara lain:

  1. Financial institutions should not keep anonymous accounts or accounts in obviously fictitious names. Lembaga keuangan tsb seharusnya berdasarkan ketentuan melakukan identifikasi dan memelihara identitas nasabah atau orang yang bertindak at as nama nasabah. Lembaga keuangan seharusnya meminta identitas yang benar dari nasabah atau orang yang bertindak atas nama nasabah yang membuka rekening atau melakukan transaksi, dalam hal lembaga keuangan meragukan identitas dimaksud.
  2. Lembaga keuangan harus memelihara semua dokumen identitas nasabah sedikitnya selama 5 tahun.
  3. Lembaga keuangan harus meneliti setiap transaksi yang mencurigakan yaitu transaksi yang kompleks, unusual dan dalam jumlah besar, atau di luar karakteristik atau profil nasabah. Lembaga keuangan harus melaporkan transaksi dimaksud kepada otoritas yang berwenang.
  4. Direktur, pejabat dan pegawai lembaga keuangan harus memperoleh perlindungan baik dari civil dan criminal laibility atas setiap bentuk pelaporan atau pemberian informasi atas suatu transaksi yang mencurigakan kepada otoritas yang berwenang. Mereka dilarang memberitahu nasabahnya apabila ada pelaporan demikian.
  5. Lembaga keuangan harus memiliki program anti money laundering mencakup kebijakan internal, prosedur dan pengawasan, fungsi audit serta program pelatihan karyawan yang terus menerus.
  6. Lembaga keuangan harus waspada dan berhati-hati dalam hal melakukan transaksi dengan lembaga keuanga<n suatu negara yang tidak menerapkan rekomendasi FATF.

Rekomendasi ini pada prinsipnya sejalan dengan ketentuan dalam PBI No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Dengan demikian maka dalam batasan tertentu kegiatan pasar modal seharusnya menerapkan prinsip mengenal nasabah termasuk adanya kewajiban pelaporan atas setiap transaksi yang mencurigakan.

Dapat kami informasikan bahwa dalam RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tidak hanya berlaku bagi bank namun juga institusi yang bergerak di bidang pasar modal. Sehingga dalam hal UU ini telah berlaku maka setiap lembaga keuangan wajib meminta identitas lengkap dari nasabah, larangan melakukan kegiatan pencucian uang serta kewajiban pelaporan transaksi yang mencurigakan dan transaksi tunai di atas Rp. 100 juta kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

 

  1. Penutup

Pemerintah termasuk Bank Indonesia telah melakukan langkah-Iangkah yang cukup memadai, tetapi hasilnya belum cukup untuk upaya mencegah dan memberantas money

laundering, terutama disebabkan belum dinyatakannya money laundering sebagai tindak pidana dan be/um adanya suatu badan khusus yang menangani money laundering. Di sam ping itu tampaknya perlu dilakukan langkah-Iangkah lebih lanjut, misalnya membuat suatu aturan yang memberikan pedoman kepada masing-masing industri keuangan lain di dalam menangani money laundering, merevisi beberapa ketentuan yang dapat melakukan pencegahan, pelaporan dan pemberantasan money laundering. Hal ini dengan mengingat bahwa kegiatan pencucian uang tidak hanya menggunakan sarana atau sasaran bank namun juga lembaga keuangan lain, misalnya pasar modal atau perusahaan asuransi. Bank Indonesia sendiri telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang

Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang mengakomodir elemen-elemen pokok Know

Your Customer Principles sesuai rekomendasi FA TF dan the Basel Committee on Banking Supervision. Peraturan ini diharapkan menjadi pedoman bagi sektor perbankan nasional dalam mewaspadai kegiatan pencucian uang.

Rekomendasi ini seyogyanya tidak hanya diberlakukan pada lembaga perbankan namun juga lembaga keuaogan lain bukan bank. Sudah saatnya lembaga keuangan termasuk bank dan perusahaan sekuritas ikut serta dalam langkah-Iangkah pemberantasan pencucian uang.

Akhirnya tidak berlebihan untuk mengatakan, bahwa untuk pencegahan dan penaggulangan masalah money laundering ini, tidak cukup upaya dari Pemerintah saja, tetapi juga harus didukung oleh legislatif, misalnya dalam bentuk penyusunan undangundang yang memadai dan yudikatif yang menunjang upaya penerapan ketentuan yang berlaku. Kerjasama internasional juga mutlak diperluas, karena money laundering seringkali merupakan suatu perbuatan yang melewati batas-batas yurisdiksi suatu negara. Untuk itu semua pihak perlu meyakin, bahwa pencegahan dan penanggulangan money laundering bukan saja perlu untuk memberantas kejahatan, tetapi juga untuk tercapainya sistem perekonomian dan sistem politik yang baik dan stabil.

 

 

Disampaikan dalam diskusi intern Money

Laundering, Bursa Efek Jakarta, tanggal 31 Oktober 2001.

[1] Money Laundering: A Banker’s Guide To Avoiding Problems, occ.treas.gov/launder/origh.htm.

[2] Ibid. 3 Ibid.

[3] Financial Action Task Force on Money Laundering, Report on Non-Cooperative Countries and Territories, 14 February 2000.

[4] Money Laudering to Mask and Move Proceeds; Edward R. Burke, Investigation Training Institute.

[5] Money Laundering: A Banker’s Guide To Avoiding Problems, occ.treas.gov/launder/orgh.htm, p.2.

[6] Ibid.

[7] Tracing Illegal Proceeds Workbook, E. R. Burke, Investigation Training Institute, Copyright 2001.p.l? 5

Tinggalkan Balasan